"Sebab menulis adalah peristiwa menyejarah"- @mizzanmrsydn

Senin, 23 Desember 2013

kontemplatif

Sertifikasi

Minggu siang, Aku main ke kampusku untuk sekedar bertemu teman yang lama tak jumpa. Mereka sekondan organisasi penalaran di pusat kegiatan mahasiswa universitas. Aku kangen dengan suasana liar pembelajaran dan debat yang penuh gairah keingintahuan saat dulu aktif di sana.
 
Menyusuri jalan kampus, setelah sebelumnya membeli beberapa buku baru dari Gramedia Matraman, ternyata ada lusinan bapak-ibu kutemui di beberapa areal kampus. Sembari berjalan santai nirbeban, seorang ibu yang berjalan bersama seorang bapak menyapaku,

“Kalau gedung sertifikasi di mana dek?”

                Ternyata gedung baru yang juga terkategorikan cukup megah yang dimiliki kampus bekas IKIP ini, lantas kujelaskan arah untuk menuju ke bangunan yang kerap disebut gedung sertifikasi itu. setelah kujelaskan, Ibu yang tak kukenal tadi sumringah lega dan berterima kasih atas jawabanku. Lantas kutanya.
              
 “Ada keperluan apa Bu?”

“Tes sertifikasi,” ujarnya

Ternyata keramaian yang agak tidak wajar di kampusku siang itu adalah para bapak-ibu guru yang mengikuti tes sertifikasi untuk dinyatakan sebagai guru, dengan segala fasilitas yang diperoleh tentunya. Berjalan lebih jauh lagi ke tempat yang ingin kutemui ternyata sudah ada beberapa peserta sertifikasi yang sedang beristirahat usai tes. Ada guru TK hingga madrasah, guru agama hingga entah apa lagi –macam-macam kukira.

***

http://harianrakyatbengkulu.com/
Sembari berjalan akupun berpikir mengenai mereka: calon guru yang kuperkirakan rata-rata sudah berkeluarga meluangkan waktu mereka untuk menjadi pengajar tersertifikasi. Omong-omong ihwal sertifikat, ada nilai simbol yang dipertaruhkan di sana. Malah sering mengalahkan nilai substansial. Untuk sebuah negeri yang mapan dan birokrasinya telah baik, sertifikat mungkin paralel dengan substansi. Sertifikat berarti isi.

Namun di negeri yang kerap menjunjung nilai-nilai simbol dengan birokrasi ,yang dalam slogan akan direformasi, sertifikat kerap menjadi penipuan kolektif tanpa disadari. Lagipula, keotentikan manusia menjadi ternihilkan dengan sertifikasi tersebut. Tak ubahnya helm yang harus tertera SNI (standar Nasional Indonesia). Itu helm yang benda mati dan tidak biasa diajak ngomong. Tapi manusia?

Tak ubahnya seperti benda mati yang diproduksi secara massal, guru pun harus beramai-ramai lulus tes untuk mendapat stempel “bersertifikasi”. Padahal sejatinya lembaga pendidikan tak sama dengan lembaga lain yang profit oriented. Baik dalam tujuan maupun nilai-nilai di dalamnya. Lantas bila sang guru sudah tersertifikasi, apakah menjadi jaminan bahwa mereka akan lebih baik dalam praksis di kelas? Apa bukan menjadi zona nyaman bagi para “bersertifikasi” untuk mengajar seadanya, toh mereka telah lulus tes sertifikasi?

Dan kita masih sering mencari sertifikasi-sertifikasi lain di berbagai bidang selama hidup ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar