"Sebab menulis adalah peristiwa menyejarah"- @mizzanmrsydn

Minggu, 15 April 2012

Cerpen Sosial


Realita Mencontek, Menyuap, dan Korupsi


            “ Ya, ‘apel malang’ dan ‘apel washington’nya akan saya transfer melalui asisten saya Pak,” ujar seorang perempuan muda berpenampilan necis melalui telepon.
            “ Untuk teknisnya terserah Ibu saja asal jumlahnya 6,5 M, jangan lupa dibagi-bagi ke lima rekening yang berbeda yang telah saya kirimkan kemarin,” balasku.
            “ Oke Pak. Apelnya akan saya kirim malam ini. Terima kasih sekali lagi Pak Kurnia.” Ujar Perempuan itu dengan nada senang, “perusahaan saya jadi tidak perlu mengeluarkan pajak pendapatan yang besar” lanjutnya.
            “ Ya, tidak perlu sungkan-sungkan Bu.”
            Klik. Tut...tut..tut
Setelah itu kututup telepon dan kupanggil asistenku untuk mengganti nomor yang kugunakan untuk transaksi dengan Bu Rendra, seorang manajer keuangan yang perusahaannya wajib pajak sebesar 20 M rupiah. Seperti itulah rutinitasku dua tahun terakhir ini.
Bagiku ini hal biasa. Tidak perlu dilebih-lebihkan seperti yang diberitakan di media. Toh banyak pegawai-pegawai yang melakukan ini. Perbedaannya hanya pada tempat dan jumlah uangnya. Cara ini juga menguntungkan kedua belah pihak. Masa bodoh dengan rakyat yang dirugikan. Itu bukan urusan kami.
Sistem institusi yang berada di bawah kementerian keuangan ini memang memungkinkan pegawai di posisi seperti kami melakukan transaksi di bawah tangan. Ditambah dengan kerja sama yang “tahu sama tahu” dengan beberapa petinggi dan orang luar yang mengaudit laporan keuangan kami, pekerjaan kami menjadi tertutup dari media masa dan masyarakat.
            Meski belakangan ruang gerak kami mulai terbatas karena ada institusi independen yang mulai memasuki daerah privasi kami. Para bos besar mulai bergerak untuk menghancurkan orang-orang sok suci tersebut. Beberapa waktu yang lalu sang ketua telah berhasil masuk perangkap dan hingga kini menjadi tersangka atas beberapa kasus yang sengaja kami rekayasa. Sayangnya institusi itu tak juga mati, justru dukungan rakyat malah semakin besar setelah pergantian pemimpin lembaga tersebut.
            Kalau kupikir-pikir uangku sudah cukup banyak. Bahkan itu sudah kubagikan kepada sanak saudara, sumbangan masjid, dan membeli hewan qurban pada Idul Adha kemarin. Akhir pekan ini aku berencana untuk bersenang-senang di Singapura sekaligus berjaga-jaga karena namaku mulai ditelusuri oleh institusi musuh koruptor.
            Ya singapura menjadi tempat yang ramah bagi koruptor. Penerbangan Indonesia-Singapura tersedia kapanpun baik dari Bali maupun Jakarta. Kami dapat memantau keadaan di Indonesia dari sana dan Singapura juga terjangkau bila ingin menemui pengacara atau sanak keluarga.
           
* * *
            “ Pegawai Direktorat Jenderal Pajak Berinisial ZK Ditangkap karena Menggelapkan Pajak Sebesar 6,5 Miliar,”  tulis headline sebuah koran nasional.
            “Lagi-lagi korupsi.” Ujarku tak tertarik sembari membalik lembaran koran, mencari halaman yang mengumumkan hasil seleksi ujian. Dua minggu yang lalu aku mengikuti ujian penerimaan Universitas se-Indonesia. Ujianku yang ketiga sebab dua ujian lain yang aku ikuti gagal.
            “Ah, ini dia” seruku sambil mengambil lembar koran itu.
            Sambil berharap cemas aku menelusuri nama yang diterima dari abjad A, sesuai namaku. Puluhan nama depan berinisial ‘A’ telah kulewati. Urutan ke-70, 80, 90, aku mulai panik karena tidak ada namaku. 100, 110, 111, 112. 113 sudah memasuki abjad B. Kuulangi menelusuri sekali lagi, hingga dua kali tetap tidak ada namaku.
            Sebenarnya hasil ini sudah kuduga sebab aku memang bukan anak yang rajin di sekolah. Meski orangtuaku mendaftarkanku di Bimbingan belajar terkenal dan mahal, aku sering mangkir ke Mall dengan teman-temanku. Sekolah pun hanya formalitas untuk menuruti orangtuaku. Meski begitu aku tetap bertekad untuk masuk Universitas ini. Aku akan sangat malu kepada teman-temanku karena mereka telah diterima di sana.
            Keesokan harinya aku membicarakan hal ini kepada orangtuaku. Tentu mereka juga malu andai anaknya tidak kuliah karena tidak lulus tes masuk. Berjam-jam kami bertiga berbicara di ruang keluarga berukuran 5x6 meter dengan sofa dan home teater itu.
 Aku memang anak tunggal. Kedua orangtuaku sibuk bekerja hingga malam dan kami sangat jarang bertemu bahkan hanya untuk makan bersama. Aku biasanya pulang malam dan langsung tidur, begitu juga mereka yang sudah kelelahan sepulangnya bekerja.
Aku tetap ngotot untuk masuk ke universitas yang aku inginkan. Suasana menjadi hening karena keegoisanku. Mungkin kedua orangtuaku merasa bersalah karena jarang memperhatikan anaknya dan terlalu sibuk bekerja. Meskipun aku tahu mereka bekerja untuk kebahagiaanku.
            “ Baiklah Ri kalau itu keinginanmu.” Ayahku memecahkan keheningan.
            “ Ayah memiliki teman dekat di Universitas itu. Ayah akan mencoba berbicara dengannya agar kamu diterima.” Ujar Ayahku dengan berat hati.
            Sebenarnya bukan tipikal ayahku untuk melakukan cara-cara kotor seperti itu. Namun dia tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk anak satu-satunya ini. Lima hari kemudian Ayah menyampaikan kabar gembira itu.
            “ Ada goodnews untukmu Ri, ” ujar suara beratnya, “ kau diterima di Universitas itu dan dua hari lagi kamu harus ke sana untuk pendaftaran ulang.”
***
            “  Ari Pribowo, seorang siswa SMA, terungkap menyuap petugas penerimaan mahasiswa baru di sebuah Universitas swasta di Jakarta,” ujar suara dari siaran televisi, “diperkirakan uang suap yang berjumlah ratusan juta itu hanya dinikmati beberapa oknum di Universitas tersebut.”
            “Klik ! “ Suara televisi dimatikan.
            “ Jangan menonton terus !” seru Ibuku tiba-tiba sambil menaruh remot televisi di atas meja, “ dua hari lagi kamu sudah ujian nasional ! Kapan kamu mulai belajar ? “ ujarnya sambil manahan emosi.
            “ Tenang saja Bu, Roni sudah belajar tadi sore,” jawabku sekenanya.
            “ Kapan kamu membuka buku? Kamu sejak pagi hanya bermain Playstation di kamar kemudian keluar untuk menonton televisi! “ Sambar ibuku.
            “ Ya.. ya.. “ balasku sambil meninggalkan ruang keluarga.
            Memangnya kenapa kalau dua hari lagi ujian nasional. Toh aku telah ikut patungan untuk membeli kunci jawaban UN seminggu yang lalu. Bukan rahasia lagi kalau ada beberapa oknum yang memperjual-belikan kunci jawaban tersebut. Asal ada kenalan, mudah saja untuk membelinya. Di kelasku hanya tiga orang yang tidak ikut membeli kunci jawaban tersebut. Seorang kutu buku, sang ketua kelas, dan temanku yang terkenal jujur. Menurutku mereka terlalu sombong untuk tidak membelinya. Jangan salahkan kami kalau nanti ternyata mereka tidak lulus.
            Dua hari kemudian ketika mentari belum penuh, aku berangkat dengan meninggalkan kecemasan di hati orangtuaku, terutama ibu. Dua hari yang lalu setelah teguran itu aku tetap tidak belajar. Hanya membolak-balik buku sambil memikirkan cara mencontek saat ujian.
Pukul 06.15 aku memarkir motor di parkiran sekolah tanpa memedulikan beberapa polisi yang semakin menambah ketegangan. Kemudian berlari kecil ke rumah yang direncanakan sebagai tempat mengambil jawaban. Sesampainya di sana sudah ada belasan murid kelas tiga berniat sama. Setelah melihat kunci jawaban yang di tulis di papan, aku menulis biodataku di selembar kertas dengan spidol warna yang membentuk kode jawaban. Cerdik sekali cara ini. Baru saja cara itu kutemukan semalam. Dengan cara ini, aku bahkan tidak perlu sembunyi-sembunyi untuk melihat kunci jawaban di tengah ujian.
Pukul 07.30 seluruh siswa dipersilakan masuk. Setelah menandatangani daftar kehadiran dan mengisi seluruh biodata di atas lembar jawaban, soal dibagikan.
“Silahkan mengerjakan soal masing-masing,” ujar seorang wanita setengah baya yang menjadi pengawas, “dilarang bertanya kepada teman ataupun meminjam alat tulis.” Setelah itu kami sibuk dengan lembar jawaban masing-masing. Dan kunci jawaban masing-masing.

Rawamangun, 15/04/2012