Realita Mencontek, Menyuap, dan Korupsi
“
Untuk teknisnya terserah Ibu saja asal jumlahnya 6,5 M, jangan lupa dibagi-bagi
ke lima rekening yang berbeda yang telah saya kirimkan kemarin,” balasku.
“ Oke
Pak. Apelnya akan saya kirim malam ini. Terima kasih sekali lagi Pak Kurnia.”
Ujar Perempuan itu dengan nada senang, “perusahaan saya jadi tidak perlu
mengeluarkan pajak pendapatan yang besar” lanjutnya.
“
Ya, tidak perlu sungkan-sungkan Bu.”
Klik.
Tut...tut..tut
Setelah itu kututup telepon
dan kupanggil asistenku untuk mengganti nomor yang kugunakan untuk transaksi
dengan Bu Rendra, seorang manajer keuangan yang perusahaannya wajib pajak
sebesar 20 M rupiah. Seperti itulah rutinitasku dua tahun terakhir ini.
Bagiku ini hal biasa. Tidak
perlu dilebih-lebihkan seperti yang diberitakan di media. Toh banyak
pegawai-pegawai yang melakukan ini. Perbedaannya hanya pada tempat dan jumlah
uangnya. Cara ini juga menguntungkan kedua belah pihak. Masa bodoh dengan
rakyat yang dirugikan. Itu bukan urusan kami.
Sistem institusi yang berada
di bawah kementerian keuangan ini memang memungkinkan pegawai di posisi seperti
kami melakukan transaksi di bawah tangan. Ditambah dengan kerja sama yang “tahu
sama tahu” dengan beberapa petinggi dan orang luar yang mengaudit laporan
keuangan kami, pekerjaan kami menjadi tertutup dari media masa dan masyarakat.
Meski
belakangan ruang gerak kami mulai terbatas karena ada institusi independen yang
mulai memasuki daerah privasi kami. Para bos besar mulai bergerak untuk
menghancurkan orang-orang sok suci tersebut. Beberapa waktu yang lalu sang
ketua telah berhasil masuk perangkap dan hingga kini menjadi tersangka atas
beberapa kasus yang sengaja kami rekayasa. Sayangnya institusi itu tak juga
mati, justru dukungan rakyat malah semakin besar setelah pergantian pemimpin lembaga
tersebut.
Kalau
kupikir-pikir uangku sudah cukup banyak. Bahkan itu sudah kubagikan kepada
sanak saudara, sumbangan masjid, dan membeli hewan qurban pada Idul Adha
kemarin. Akhir pekan ini aku berencana untuk bersenang-senang di Singapura
sekaligus berjaga-jaga karena namaku mulai ditelusuri oleh institusi musuh
koruptor.
Ya
singapura menjadi tempat yang ramah bagi koruptor. Penerbangan
Indonesia-Singapura tersedia kapanpun baik dari Bali maupun Jakarta. Kami dapat
memantau keadaan di Indonesia dari sana dan Singapura juga terjangkau bila
ingin menemui pengacara atau sanak keluarga.
* * *
“ Pegawai
Direktorat Jenderal Pajak Berinisial ZK Ditangkap karena Menggelapkan Pajak
Sebesar 6,5 Miliar,” tulis headline
sebuah koran nasional.
“Lagi-lagi
korupsi.” Ujarku tak tertarik sembari membalik lembaran koran, mencari halaman
yang mengumumkan hasil seleksi ujian. Dua minggu yang lalu aku mengikuti ujian
penerimaan Universitas se-Indonesia. Ujianku yang ketiga sebab dua ujian lain
yang aku ikuti gagal.
“Ah,
ini dia” seruku sambil mengambil lembar koran itu.
Sambil
berharap cemas aku menelusuri nama yang diterima dari abjad A, sesuai namaku. Puluhan
nama depan berinisial ‘A’ telah kulewati. Urutan ke-70, 80, 90, aku mulai panik
karena tidak ada namaku. 100, 110, 111, 112. 113 sudah memasuki abjad B.
Kuulangi menelusuri sekali lagi, hingga dua kali tetap tidak ada namaku.
Sebenarnya
hasil ini sudah kuduga sebab aku memang bukan anak yang rajin di sekolah. Meski
orangtuaku mendaftarkanku di Bimbingan belajar terkenal dan mahal, aku sering
mangkir ke Mall dengan teman-temanku. Sekolah pun hanya formalitas untuk
menuruti orangtuaku. Meski begitu aku tetap bertekad untuk masuk Universitas
ini. Aku akan sangat malu kepada teman-temanku karena mereka telah diterima di
sana.
Keesokan
harinya aku membicarakan hal ini kepada orangtuaku. Tentu mereka juga malu
andai anaknya tidak kuliah karena tidak lulus tes masuk. Berjam-jam kami
bertiga berbicara di ruang keluarga berukuran 5x6 meter dengan sofa dan home
teater itu.
Aku memang anak tunggal. Kedua orangtuaku
sibuk bekerja hingga malam dan kami sangat jarang bertemu bahkan hanya untuk
makan bersama. Aku biasanya pulang malam dan langsung tidur, begitu juga mereka
yang sudah kelelahan sepulangnya bekerja.
Aku tetap ngotot untuk masuk
ke universitas yang aku inginkan. Suasana menjadi hening karena keegoisanku.
Mungkin kedua orangtuaku merasa bersalah karena jarang memperhatikan anaknya
dan terlalu sibuk bekerja. Meskipun aku tahu mereka bekerja untuk
kebahagiaanku.
“
Baiklah Ri kalau itu keinginanmu.” Ayahku memecahkan keheningan.
“
Ayah memiliki teman dekat di Universitas itu. Ayah akan mencoba berbicara
dengannya agar kamu diterima.” Ujar Ayahku dengan berat hati.
Sebenarnya
bukan tipikal ayahku untuk melakukan cara-cara kotor seperti itu. Namun dia
tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk anak satu-satunya ini. Lima hari
kemudian Ayah menyampaikan kabar gembira itu.
“
Ada goodnews untukmu Ri, ” ujar suara
beratnya, “ kau diterima di Universitas itu dan dua hari lagi kamu harus ke
sana untuk pendaftaran ulang.”
***
“ Ari Pribowo, seorang siswa SMA, terungkap menyuap
petugas penerimaan mahasiswa baru di sebuah Universitas swasta di Jakarta,”
ujar suara dari siaran televisi, “diperkirakan uang suap yang berjumlah ratusan
juta itu hanya dinikmati beberapa oknum di Universitas tersebut.”
“Klik
! “ Suara televisi dimatikan.
“
Jangan menonton terus !” seru Ibuku tiba-tiba sambil menaruh remot televisi di
atas meja, “ dua hari lagi kamu sudah ujian nasional ! Kapan kamu mulai belajar
? “ ujarnya sambil manahan emosi.
“
Tenang saja Bu, Roni sudah belajar tadi sore,” jawabku sekenanya.
“
Kapan kamu membuka buku? Kamu sejak pagi hanya bermain Playstation di kamar
kemudian keluar untuk menonton televisi! “ Sambar ibuku.
“
Ya.. ya.. “ balasku sambil meninggalkan ruang keluarga.
Memangnya
kenapa kalau dua hari lagi ujian nasional. Toh aku telah ikut patungan untuk
membeli kunci jawaban UN seminggu yang lalu. Bukan rahasia lagi kalau ada
beberapa oknum yang memperjual-belikan kunci jawaban tersebut. Asal ada
kenalan, mudah saja untuk membelinya. Di kelasku hanya tiga orang yang tidak
ikut membeli kunci jawaban tersebut. Seorang kutu buku, sang ketua kelas, dan
temanku yang terkenal jujur. Menurutku mereka terlalu sombong untuk tidak membelinya.
Jangan salahkan kami kalau nanti ternyata mereka tidak lulus.
Dua
hari kemudian ketika mentari belum penuh, aku berangkat dengan meninggalkan
kecemasan di hati orangtuaku, terutama ibu. Dua hari yang lalu setelah teguran
itu aku tetap tidak belajar. Hanya membolak-balik buku sambil memikirkan cara
mencontek saat ujian.
Pukul 06.15 aku memarkir
motor di parkiran sekolah tanpa memedulikan beberapa polisi yang semakin
menambah ketegangan. Kemudian berlari kecil ke rumah yang direncanakan sebagai
tempat mengambil jawaban. Sesampainya di sana sudah ada belasan murid kelas
tiga berniat sama. Setelah melihat kunci jawaban yang di tulis di papan, aku
menulis biodataku di selembar kertas dengan spidol warna yang membentuk kode
jawaban. Cerdik sekali cara ini. Baru saja cara itu kutemukan semalam. Dengan
cara ini, aku bahkan tidak perlu sembunyi-sembunyi untuk melihat kunci jawaban
di tengah ujian.
Pukul 07.30 seluruh siswa dipersilakan
masuk. Setelah menandatangani daftar kehadiran dan mengisi seluruh biodata di
atas lembar jawaban, soal dibagikan.
“Silahkan mengerjakan soal
masing-masing,” ujar seorang wanita setengah baya yang menjadi pengawas,
“dilarang bertanya kepada teman ataupun meminjam alat tulis.” Setelah itu kami
sibuk dengan lembar jawaban masing-masing. Dan kunci jawaban masing-masing.
Rawamangun, 15/04/2012