"Sebab menulis adalah peristiwa menyejarah"- @mizzanmrsydn

Minggu, 29 Desember 2013

puisi

http://www.anneahira.com/lautan-luas.htm
Lautan Kehidupan dan Kawan

Berenanglah dalam kesulitan, Kawan!
Renangilah lautan aral dan
Kalahkanlah ombak rintangan
Menyelamlah di antara karang keputusasaan
Percayalah pada kaki-kaki keyakinanmu
Ayuhkanlah kuat-kuat tangan kerja kerasmu
Agar kelak bila kau tiba di garis pantai kematian
Kau dapat tersenyum, karena kau selami
Lautan jernih kesuksesan
Yang di dalamnya penuh riak prestasi
Dan langit yang menaungimu
Akan memberikan sunset  terindah yang dimilikinya untukmu
Seakan ia juga tersenyum merayakan keberhasilanmu
Beserta ikan dan para penghuni laut yang tersenyum
Sebelum menangis atas kesudahan dan kepergianmu

Renangilah laut yang dalam, Kawan!
Karena ombak akan membentuk
Hatimu menjadi lembut dan hidup
Karena karang akan melatih
Tekadmu menjadi keras dan tak terkalahkan

Cintailah ombak yang keras menghantam
Rengkuhlah karang yang menghalang
Dan jadilah pemenang
Di samudera kehidupan, Kawan!

Jumat, 27 Desember 2013

puisi


Ini tentang pagi
tentang embun yang membasahi            
rumput, ilalang, dan hamparan padi

tentang  segelas susu dingin
dan sarapan getuk lindri
dan buku yang semalam tertiduri

Sadarkah, Tuhan selalu memberi hadiah
setiap hari. Ya, pagi adalah kado dari-Nya
atas ikhtiar di hari sebelumnya dan
istirahat di malam hari yang
penuh dengan harapan dan mimpi indah

Pagi adalah jawaban
Untuk lelah di malam hari
Dan mata yang tak kuat menahan kantuk.
Karena pagi adalah waktu melunasi janji
Dan ikhtiar lagi merebut mimpi


25/12/2013

Senin, 23 Desember 2013

kontemplatif

Sertifikasi

Minggu siang, Aku main ke kampusku untuk sekedar bertemu teman yang lama tak jumpa. Mereka sekondan organisasi penalaran di pusat kegiatan mahasiswa universitas. Aku kangen dengan suasana liar pembelajaran dan debat yang penuh gairah keingintahuan saat dulu aktif di sana.
 
Menyusuri jalan kampus, setelah sebelumnya membeli beberapa buku baru dari Gramedia Matraman, ternyata ada lusinan bapak-ibu kutemui di beberapa areal kampus. Sembari berjalan santai nirbeban, seorang ibu yang berjalan bersama seorang bapak menyapaku,

“Kalau gedung sertifikasi di mana dek?”

                Ternyata gedung baru yang juga terkategorikan cukup megah yang dimiliki kampus bekas IKIP ini, lantas kujelaskan arah untuk menuju ke bangunan yang kerap disebut gedung sertifikasi itu. setelah kujelaskan, Ibu yang tak kukenal tadi sumringah lega dan berterima kasih atas jawabanku. Lantas kutanya.
              
 “Ada keperluan apa Bu?”

“Tes sertifikasi,” ujarnya

Ternyata keramaian yang agak tidak wajar di kampusku siang itu adalah para bapak-ibu guru yang mengikuti tes sertifikasi untuk dinyatakan sebagai guru, dengan segala fasilitas yang diperoleh tentunya. Berjalan lebih jauh lagi ke tempat yang ingin kutemui ternyata sudah ada beberapa peserta sertifikasi yang sedang beristirahat usai tes. Ada guru TK hingga madrasah, guru agama hingga entah apa lagi –macam-macam kukira.

***

http://harianrakyatbengkulu.com/
Sembari berjalan akupun berpikir mengenai mereka: calon guru yang kuperkirakan rata-rata sudah berkeluarga meluangkan waktu mereka untuk menjadi pengajar tersertifikasi. Omong-omong ihwal sertifikat, ada nilai simbol yang dipertaruhkan di sana. Malah sering mengalahkan nilai substansial. Untuk sebuah negeri yang mapan dan birokrasinya telah baik, sertifikat mungkin paralel dengan substansi. Sertifikat berarti isi.

Namun di negeri yang kerap menjunjung nilai-nilai simbol dengan birokrasi ,yang dalam slogan akan direformasi, sertifikat kerap menjadi penipuan kolektif tanpa disadari. Lagipula, keotentikan manusia menjadi ternihilkan dengan sertifikasi tersebut. Tak ubahnya helm yang harus tertera SNI (standar Nasional Indonesia). Itu helm yang benda mati dan tidak biasa diajak ngomong. Tapi manusia?

Tak ubahnya seperti benda mati yang diproduksi secara massal, guru pun harus beramai-ramai lulus tes untuk mendapat stempel “bersertifikasi”. Padahal sejatinya lembaga pendidikan tak sama dengan lembaga lain yang profit oriented. Baik dalam tujuan maupun nilai-nilai di dalamnya. Lantas bila sang guru sudah tersertifikasi, apakah menjadi jaminan bahwa mereka akan lebih baik dalam praksis di kelas? Apa bukan menjadi zona nyaman bagi para “bersertifikasi” untuk mengajar seadanya, toh mereka telah lulus tes sertifikasi?

Dan kita masih sering mencari sertifikasi-sertifikasi lain di berbagai bidang selama hidup ini.

puisi

http://dalmuji.wordpress.com

Malam Menggugat

Kala itu Sang Malam menggugat
Atas pagi yang dianakemaskan
Oleh Tuhan dan penduduk bumi

Padahal Malam memberi keindahan
Ia tawarkan paras yang secantik bulan, sambil
Mengenakan gaun berhias beribu bintang-bintang
Meniupkan sejuk pada semesta

Namun Malam marah, karena
Tak ada yang menemaninya
Pascasenja ia mulai menyapa
Hari itu, orang-orang tertidur pulas

Ia menyembunyikan bintang
Dan menenggelamkan bulan
Berganti angin malam, yang
Membangunkan bulu roma, membangkitkan kengerian
Dari jauh senyumnya serupa seringai

“Tidurlah Kakanda, sudah larut malam,” ujarmu
“Tidurlah lebih dulu Adinda, malam
Sedang butuh teman.
Jemputlah mimpimu lebih dulu, biar aku temani
Sang Malam.” Maka engkaupun terlelap
Lantas Malam tak lagi merajuk
Dan kembali memberi mimpi indah bagi mereka
Yang beristirahat untuk Sang Pagi

24/12/2013


puisi

http://myryani.wordpress.com/category/sahabat/
Sahabat

Pada suatu masa di musim meranggas
Kayu-kayu dan daun-daun penghias kota
Kita bertemu, tanpa ada yang menahu
Oleh siapa kita dipertemukan, Tuhan

Pertemuan kala pandangan bertemu
Dan pikiran yang saling bertaut sepanjang
waktu, memperdalam rasa
Menguatkan makna. Setiap kita bagi tiap-tiap
Kita, yang sulit terwakilkan kata

Pada jalan yang kita lalui
Tentu tak selalu mulus malah penuh liku
Yang membingungkan yang lain dan
Menghambat perjalanan yang lain
Toh sulitnya medan membuat kita
belajar persahabatan dan arti pengorbanan

Kita makin kuat dan menemukan
Anugerah persahabatan; dalam lingkaran
Yang terbentuk dari tangan-tangan kebaikan
Hingga suatu masa, satu tangan itu goyah: lepas

Jenuh, mungkin. Atau kita tak lagi melangkah
Ke satu tujuan yang sama
Hingga akhirnya kita harus meruangkan perpisahan
Untuk belajar memahami makna pertemuan
Karena jarak membuat kebersamaan indah
Dan memberi alasan untuk kisahku, kamu, dan kita

24/12/2013

kontemplatif

Oposisi

Manusia sebagai makhluk sosial hidup beramai-ramai. Dan dalam keramaian kolektif, manusia selalu mememui keterpasangan. Saat pembagian tempat duduk di sekolah, ketika naik motor berdua, hingga menanyakan arah jalan saat tersesat. Kita meruangkan saat berinteraksi empat mata dengan satu orang lain. Baik pria maupun wanita. Pokoknya berpasang-pasangan.

http://www.thedissenter.co.uk/2013/03/essential-opposition/
Dalam momen yang selintas dan sering tak kita sadari itu, kita menjadi oposisi bagi yang lain. Ada istilah lawan bicara dan lawan main. Namun makna lawan di sini tak berarti bermusuhan. Melainkan saling melengkapi.

Bayangkan bila tidak ada lawan bicara: berbicara sendiri bagai tak waras. Bayangkan bila tak ada lawan main: permainan menjadi tak utuh. Bahkan pada beberapa jenis permainan, peran lawan menjadi syarat utama. Hingga ada yang namanya exhibition match. Pertandingan latihan dengan mencari lawan main. Bahkan lawan sampai dicari!

Di panggung politik yang penuh conflict of interest juga ditemukan koalisi dan oposisi. Sama vitalnya dengan perannya dalam permainan, oposisi politik senantiasa mengawasi dan mengkritik kinerja penguasa. Terbangunlah mekanisme pengawasan yang baik bagi penyelenggara negara.

Jadi tak selamanya lawan adalah pihak yang menyulitkan. Dalam ruang-ruang kehidupan, kita tetap membutuhkan lawan. Lawan yang  mampu memberikan kita peningkatan kemampuan atau sekedar teman. Sepi bukan apabila berjam-jam menunggu bus tanpa ada lawan bicara?

kontemplatif

Kritik

Lebih tajam dari pedang, lebih membekas daripada luka, lebih menusuk daripada duri. Kritik! Dapat membuat orang serasa kebakaran jenggot. Terbakar panas telinganya. Tak tidur semalaman. Apalagi kalau datangnya dari orang yang kita pandang.

Sering, kita tak menerimanya. Bukan membiarkannya masuk telinga kanan lantas keluar telinga kiri. Melainkan sama sekali tak menerimanya. Kembali mengkritik sang pengkritik. Gelap mata hingga dapat main tangan.
http://leadershipfreak.wordpress.com/2012/07/09/giving-criticism-like-a-pro/

Tapi mungkinkah, hidup tanpa kritik? Adakah sebuah dunia tanpa kritik?
Mustahil, dan jangan sampai terjadi. Bukan karena selalu ada manusia yang tidak suka dan mencari-cari kesalahan orang lain. Melainkan nanti dunia akan menjadi tempat yang stagnan dan tak sebaik ini. Orang-orang akan tidak mengetahui kesalahannya. Pemerintah menjadi terlalu yakin keberhasilannya. Seniman menjadi terlalu puas akan karyanya.

Memang ada kritik dekstruktif. Temannya: kritik konstruktif. Perbedaannya memang tak jauh. Bahkan kritik konstruktif sekalipun dapat diinterpretasi jadi kritik dekstruktif. Amat bergantung pada sang objek kritikan; mau menerimanya sebagai masukan atau celaan.

Kritik bagaikan bahan masakan. Kitalah koki yang menentukan bahan makanan mana yang kita buang dan ambil untuk dijadikan makanan lezat yang baik bagi jiwa kita. Jadi, berterimakasihlah pada para pengkritik hidup.

kontemplatif

Aktif-is-me

Dunia mahasiswa adalah dunia penuh kedinamisan dan aktivitas yang padat. Kampus menyediakan banyak pilihan buat mahasiswa. Tak ubahnya gemerlap pasar rakyat bagi seorang anak kecil. Bagai gemerlap lampu disko yang berkilau amat menarik. Meski akhirnya, tak seluruh individu dalam populasi human campus menyambutnya dengan antusias –riang gembira.

Mereka yang memilih masuk unit kegiatan kemudian dituntut aktif berkontribusi. Kuliah tak sebatas ruang kelas dan lorong yang menghubungkannya. Kuliah juga diwarnai rapat, kegiatan organisasi, pelatihan, bahkan aksi. Kawannya yang tidak ikut organisasi menyebut si aktif berkontribusi: aktivis. Mahasiswa aktivis. Terdoktrin bahwa aktivis adalah mahasiswa yang ada di badan eksekutif, senat, atau badan pemerintahan mahasiswa lainnya. Terdoktrin bahwa semua pengurus lembaga pemerintahan mahasiswa adalah aktivis.

Padahal tak ada jaminan, emblem yang gagah melekat di jaket almamater berarti sang empunya aktif berkontribusi di lembaga tersebut. Pun salah bila menganggap seluruh non-pengurus badan eksekutif bukanlah aktivis. Karena aktif dapat dilakukan oleh siapapun, untu hal apapun: olahraga, seni, kelimiahan, bahkan ibadah. Yang penting, di manapun mahasiswa mengambil jalan, ia selalu total serta mau dan mampu menjadi aktif-kontributif. Tidak hanya numpang nama.


Mahasiswa yang rajin beribadah dapat disebut aktivis, sering mengikuti lomba karya tulis dan menang termasuk aktivis, giat mengharumkan nama kampus melalui olahraga pun tergolong aktivis. Jadi, makna aktivis tidak pelu dipersempit hanya untuk mahasiswa di senat dan lembaga pemerintahan mahasiswa sejenisnya. Karena aktif itu universal: dapat dilakukan untuk apapun. Selamat menghirup semangat aktif-is-me. Jadilah aktif dan menginspirasi orang lain untuk ikut aktif; itu baru aktivis sejati!

Minggu, 11 Agustus 2013

Resensi Buku

Menghadirkan (kembali) Tuhan dalam Kehidupan

Judul : Tuhan yang Kesepian
Penulis : Tasirun Sulaiman
Penerbit : Bunyan
Tahun Terbit : 2013
Tebal : xii + 204 Halaman

ISBN : 978-602-7888-08-1    

Bagi beberapa kalangan, ihwal agama dan Tuhan adalah tabu: sesuatu yang jauh dari perdebatan dan diskusi tentang-Nya. Konsep ketuhanan bagai virus yang membuat alergi dari pertanyaan tentang Tuhan dan agama. Namun kredo tersebut mampu disanggah oleh Tasirun Sulaiman –penulis buku ini.
Sebuah pohon akan selalu diterjang oleh angin kencang, bahkan hujan dan badai yang dapat membuatnya goyah hingga tumbang berdebam ke tanah. Hanya akar yang kuatlah dapat menahannya dari segala aral rintangan. Akar-akar yang kuat menghunjam begitu dalam ke bumi sehingga menjadi pegangan kokoh bagi pohon keimanan. Mengalirkan kearifan dari akar-akarnya yang luas menjalar bagi diri dengan pohon keimanan yang sehat.
Dengan demikian, mempertanyakan kembali konsep ketuhanan dan makna dari setiap ibadah kita bukan hanya untuk menyelami hakikat esensial penghambaan kita pada Tuhan. Namun juga menumbuhkan akar keimanan yang dalam dan luas terhadap Dia Yang Mahaesa. Buku ini dengan membawa perspektif pengarangnya, yang mungkin saja berbeda pada tiap orang, mengajak pembacanya kembali ke substansi keberadaan seseorang di bumi ini. Mengajak kita sejenak keluar dari rutinitas yang kadang membuat kita melupakan isi dan membanggakan kulit. Sembari mengajak kita menenggang perbedaan yang ada: antargolongan, antaragama, antarmazhab.
Buku ini terbagi menjadi lima bagian; Agama dan Cinta Kasih Tuhan, Agama dan Kemanusiaan Universal, Agama dan Kehidupan Politik, Agama dan Kesucian Jiwa, Agama dan Kemasyarakatan;  yang kesemuanya masih dalam satu tubuh: ditarik dari perspektif agama. Dengan sisipan peritiwa sejarah yang mendukung opininya, sang penulis mencoba menghembuskan angin kesejukan dari pohon yang rindang bernama agama. Mengoreksi beberapa kesalahan dalam menafsir ayat-ayat-Nya: sebuah fenomena yang kian sering menggejala dalam keseharian kita.
Namun terdapat beberapa catatan seperti sumber sumber rujukan sejarah yang tanpa keterangan cukup. Sebab beberapa catatan yang dibeberkan memiliki sebagian perbedaan dengan sumber rujukan lain pada unsur pendukung cerita. Terlebih di bagian akhir buku tidak terdapat halaman daftar pustaka yang sebenarnya dapat menjadi perluasan dari wacana dalam buku ini. Mungkin di satu sisi, ini menunjukan kedalaman dan kefasihan sang pengarang pada apa yang ditulisnya.
Pada akhirnya kita tetap patut berterimakasih karena telah menambah satu lagi buku yang dapat membuka pintu dan mengajukan pertanyaan untuk sebuah dialog. Akan selalu ada keberagaman dalam memaknai medan tafsir yang begitu luas terhadap ayat-ayat-Nya. Oleh karena itu, bijaklah dalam setiap pengamalannya di kehidupan. (MIM) 

Sabtu, 22 Juni 2013

Nazaruddin dan Pencarian Jati Diri Bangsa

Oleh: Muhammad Izzan Mursyidan

Majalah TEMPO terbitan 17 Juni 2013 menurunkan laporan utama mengenai kiprah Nazaruddin –terpidana tujuh tahun perkara suap Wisma Atlet SEA Games XXVI Palembang. Majalah yang pernah dibredel dua kali pada masa Orde baru karena keberaniannya dalam pemberitaan tersebut menyebut Nazaruddin sebagai Super Napi. Sebutan yang merujuk kecerdikan Nazaruddin mengatur bisnis ilegal dari balik jeruji.
Menurut para saksi, Nazaruddin kerap menggelar rapat bersama 10-15 anak buahnya di kompleks penjara. Memang tidak terdapat klausul yang melarang tahanan untuk menggelar rapat atau menandatangani surat kerjasama perusahaan, namun pertemuan dengan tamu harus diadakan di ruang tamu penjara pada jam besuk. Nazaruddin, entah bagaimana caranya, saat ditahan di Rumah Tahanan Cipinang diberi hak untuk  menghelat rapat di ruang konsultasi di lantai 2 melampau jam besuk. Rapat tersebut mengatur segala alur kerja mulai dari pendirian perusahaan baru hingga lobi ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Keleluasaan dalam menggelar rapat sudah ia dapatkan sejak ditahan di Markas Komando Brigade Mobil Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Privilese tersebut terus ia dapatkan setelah dipindahkan ke Rumah Tahanan Cipinang sebelum kembali dipindahkan ke Penjara khusus koruptor di Sukamiskin, Bandung. Keistimewaan yang diperoleh mantan bendahara umum Partai Demokrat itu juga berupa hak mengoperasikan gadget–hal yang dilarang di penjara. Melalui perangkat tersebut, tentu lebih mudah bagi Nazar untuk berkomunikasi ke anak buahnya. Bahkan ada kabar Nazar kerap menggunakannya untuk bermain saham.
Melalui jaringan yang telah ia bangun sebelum ditangkap di Cartagena, Kolumbia pada 7 Agustus 2011, ia makin memperluas “bisnis”-nya hingga nominal yang mampu membantu mengurangi kemsikinan apabila dialokasikan pada program pemerintah. Dengan sistem yang rapi, Nazaruddin dan jaringannya tetap produktif dengan membangun dua puluh delapan perusahaan baru selama Nazaruddin berbaju tahanan. Perusahaan-perusahaan yang didaftarkan atas nama anak buahnya tersebut memiliki akta perusahaan dan kantor. Nazaruddin memerlukan banyak perusahaan untuk mengamankan tender yang tersebar di berbagai proyek pemerintah. Seperti pada kasus pengadaan alat kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Murjani, Sampit, Kalimantan Tengah. Proyek tersebut dimenangi PT Sanjico Abadi, dengan cadangan pertama PT Bina Inti Sejahtera dan cadangan kedua PT Rajawali Kencana Abadi, ketiganya perusahaan milik Nazaruddin.
                Kebaikan yang tidak terorganisir akan kalah dengan kejahatan yang terorganisir, sebuah pepatah dari sahabat Nabi Ali bin Abi Thalib yang kini dipraksiskan oleh Nazaruddin kepada publik Indonesia. Tentunya kejahatan luar biasa yang dilakukan Nazaruddin tidak akan terjadi tanpa sikap permisif oknum-oknum yang memiliki kepentingan. Sudah bukan rahasia lagi kalau hotel rodeo mampu menwarkan segala fasilitas yang dibutuhkan napi. Dengan dana hasil mencuri uang rakyat yang mereka peroleh sebelum ditangkap, banyak tahanan membeli segala faslitas layaknya hotel yang kini diperjualbelikan selama masa tahanan.
                Mulai dari keluar rutan tanpa perizinan resmi untuk pelesiran, layanan bak salon di dalam rutan, pemberian hak mengoperasikan aneka gadget, hingga seperti yang diberikan kepada Nazaruddin: menempati kamar sel sendirian yang seharusnya untuk dua orang. Bahkan dalam beberapa kasus, penjaga dan sipir penjara terlihat seolah-olah melindungi para terhukum. Belum lagi orang suruhannya yang menjadi mafia anggaran. Anak buahnya yang bermain di parlemen untuk bertugas mengatur anggaran melalui anggota DPR. Kiprah mereka pun telah menyeret banyak nama-nama wakil rakyat yang akhir-akhir ini kerap muncul di media. Layaknya fenomena gunung es, kasus tersebut belum termasuk yang tidak tersorot media.
                Banyak kasus-kasus kelas berat yang membutuhkan kerja rapi untuk menghindari jeratan hukum dan kerjasama dengan berbagai pihak dalam pemerintah untuk memuluskan pencurian uang negara. Salah satunya pada kasus anggaran wisma atlet yang anggarannya ditentukan anggota DPR. Hal tersebut tidak akan terjadi apabila para wakil rakyat bekerja sebagai wakil rakyat yang sebenar-benarnya dan menggunakan hati nurani dalam mengabdi pada negara. Kasus-kasus korupsi pajak juga tidak akan terjadi apabila para pengusaha mau jujur membayar pajak tanpa negosiasi ilegal dengan pegawai pajak yang praktiknya telah sangat merugikan negara.
                Kasus Nazaruddin hanya noktah yang membentuk garis hitam yang telah mencoreng wajah ibu pertiwi. Bila dulu rakyat Indonesia bersatu untuk bekerja sama melawan penjajah yang berasal dari lain bangsa, kini sebagian dari bangsa Indonesia harus menegakkan keadilan yang dirusak oleh sebagian lain saudaranya. Negeri kita dijajah oleh bangsa sendiri, pegawainya mencuri dari lembaga yang memberinya makan, orang-orangnya memperkaya diri di atas penderitaan saudara sebangsa dan setanah airnya sendiri, pemerintahnya membancak anggaran yang dialokasikan untuk program yang akan menyejahterakan bangsanya sendiri.
                Bangsa ini seperti mengalami degradasi moral kolektif. Perjuangan para pejuang pra dan saat kemerdekaan demi membebaskan bangsa dari kesewenang-wenangan para penjajah kini digantikan perjuangan para anak bangsa mencuri harta dan sumber daya Indonesia. Militansi melakukan tugas negara dengan sebaik-baiknya bereinkarnasi menjadi ketamakan para politisi mencuri uang negara dengan berbagai cara. Prinsip “Merdeka atau Mati” yang dipegang teguh generasi terdahulu kini menjadi absurd dalam alam pemerintahan pascareformasi yang dipenuhi polah bejat wakil rakyat. Kesatuan bangsa yang diikrarkan pemuda-pemudi seluruh Indonesia pada Sumpah Pemuda 1928 diinjak-injak oleh tingginya ego primordial sempit yang mudah terprovokasi.
                Bangsa kita sempat disiram keteduhan persatuan ketika beberapa waktu lampau, lagu dan kesenian Indonesia diklaim oleh bangsa lain. Meski asap tak pernah muncul tanpa api. Tingkah negara lain mengklaim budaya Indonesia bukan tanpa sebab dari bangsa pemiliknya yang tidak merawat dan menjaganya, kalau tidak dikatakan mulai melupakannya. Namun karena hal tersebut, seluruh elemen masyarakat terdongkrak nasionalismenya dan merasa terpanggil untuk ikut dalam gerakan-gerakan yang mengklaim kembali kekayaan budaya Indonesia yang telah dicuri.
Atau momen ketika Indonesia terlibat dalam turnamen olahraga akbar, lazimnya dalam bidang sepakbola atau bulutangkis. Selama perhelatan kejuaraan tersebut, masyarakat Indonesia menjadi gemar mengenakan jersey merah putih khas Indonesia. Simbol Garuda yang kerap dilupakan kembali dimaknai dan diagungkan. Beberapa kalangan yang awalnya tidak paham olahraga pun ikut mendukung dan menginginkan Indonesia menang.  Mereka saling berlomba menunjukkan nasionalisme sesaat dalam bentuk  dukungan kepada pemain Indonesia.
                Pengalaman bangsa Indonesia tersebut mencerminkan seolah-olah adanya sebuah kebutuhan akan musuh bersama yang identik dan jelas-jelas melawan atau minimal menjadi rival bangsa Indonesia secara utuh. Musuh bersama tersebut menjadi katalisator yang menjalar ke seluruh elemen bangsa lintas geografis dan demografis. Memunculkan perasaan yang menggugat jiwa nasionalisme bagi siapapun yang lahir, tumbuh, dan memiliki hubungan batin dengan Indonesia. Membentuk aksi nyata secara serentak dan kolektif sebagai bentuk sikap dan dukungan mendukung Indonesia melawan musuh bersama tersebut.
                Adanya musuh bersama memunculkan kesadaran kolektif akan identitas sebagai sebuah bangsa. Musuh bersama yang teridentifikasi sebagai sebuah bangsa akan juga mengidentifikasi setiap individu-individu masyarakat Indonesia sebagai warga negara Indonesia yang patut membela dan mempertahankan martabat bangsanya. Momen ketika muncul musuh bersama tersebut akan memperkuat kembali  identitas sebagai WNI yang kerap memudar diterpa pengaruh negara-bangsa lain di tengah era globalisasi. Momen tersebut akan menyatukan dan merekatkan kembali bangunan kebangsaaan yang sempat retak diguncang konflik primordialisme sempit.
                Begitu pentingnya penyadaran ke masing-masing individu akan identitas mereka sebagai suatu bangsa yang merdeka. Identitas sebuah bangsa yang harus menjaga dan merawat kemerdekaan Indonesia yang diperoleh melalui sejarah pengorbanan panjang,  penuh tumpahan keringat, darah, dan air mata. Tanpa adanya identitas sebagai suatu bangsa, misi berbangsa dan bernegara tiap individu akan menjadi bias. Membuat masyarakat lupa akan tujuan dari perjalanan bangsa yang harus dilanjutkan. Sehingga tujuan setiap individu juga akan menjadi sempit dan mengabaikan tujuan bersama.
                Orang-orang seperti Muhammad Nazaruddin bukannya bodoh atau kurang berpendidikan. Malah, ia mungkin salah satu putra terbaik bangsa. Namanya dapat bersanding dengan Gayus yang sama rapi dan lihainya dalam mengalirkan uang negara ke kantong pribadi. Namun kecerdikan mereka justru menjadi pisau yang berbalik mengarah ke jantung Ibu Pertiwi. Mengancam hidup segenap  masyarakat Indonesia. Menggerogoti kehidupan berbangsa bernegara dari segala dimensi: moral, ekonomi, sosial, politik.
Nazaruddin adalah produk dari sistem pendidikan Indonesia. Tidak ada yang salah dari pendidikan Indonesia. Bahkan, pendidikan Indonesia dapat dikatakan berhasil, sebab telah menghasilkan orang-orang yang cerdas. Namun pendidikan bukan hanya kognitif belaka. Pendidikan juga harus membentuk karakter manusia Indonesia yang dilandasi pemahaman yang baik tentang sejarah negara dan bangsanya. Menegaskan identitas dan karakter sesungguhnya sebuah bangsa yang besar. Bangsa yang dianugerahi alam nan melimpah, serta kekayaan budaya dan bahasa. Bangsa yang mampu bersatu dengan menanggalkan identitas primordialisme sempitnya masing-masing untuk meraih independensinya sendiri.
Rakyat Indonesia butuh momen serupa serbuan Jepang yang mampu memunculkan jati diri sebagai suatu bangsa. Desakan seperti  agresi Belanda yang mampu menyatukan manusia Indonesia dari berbagai latar belakang. Peristiwa yang membuat rakyat Indonesia berjuang bersama-sama membawa identitas sebagai individu yang cinta dan mau berkorban demi bumi pertiwi.  Bayangkan bila orang-orang seperti Nazaruddin dan Gayus mencurahkan segenap pemikiran, tenaga, dan waktunya untuk memajukan bangsa Indonesia. Niscaya tingkat korupsi akan menurun drastis. Bahkan pemberantasan korupsi hingga ke akarnya di Indonesia bukan lagi sebuah wacana. Tentu, kita berharap bangsa Indonesia tak perlu mengulangi peristiwa buruk di masa lampau untuk menemukan jati diri yang sesungguhnya

Selasa, 05 Maret 2013

Resensi Buku


Tips Sukses di Usia Muda Seorang Billy Boen
Oleh: Muhammad Izzan Mursyidan

Judul : Young on Top New Edition
Penulis : Billy Boen
Penerbit : B first
Tahun Terbit : 2012
Tebal : xv + 208 Halaman
ISBN : 978-602-8864-67-1          

Setiap manusia yang hidup pasti menginginkan kesuksesan. Bahkan bagi sebagian orang, sukses adalah sebuah keharusan. Namun amat sedikit yang mampu meraihnya ketika mereka masih berusia muda. Sebabnya: banyak rintangan dan tantangan dalam menggapai kesuksesan tersebut. Mulai dari pekerjaan atau pendidikan yang kita jalani tidak sesuai dengan keinginan, belum memiliki target yang dapat memotivasi, selalu menyerah tiap mengalami kesulitan, hingga kurang percaya diri.
          Segala rintangan dan tantangan tersebut bukanlah alasan untuk menyerah dan berhenti mengejar kesuksesan. Justru segala ujian itu adalah proses yang akan membentuk pribadi kita menjadi lebih baik sekaligus merupakan bukti bahwa kita pantas untuk memperoleh kesuksesan. Namun apabila telah memperoleh kesuksesan, tetaplah humble dan membagi apa yang telah kita miliki kepada orang lain.
Sebagai seorang praktisi di dunia bisnis, Billy Boen mampu menangkap hal-hal apa saja yang harus dilakukan untuk menjadi sukses di usia muda. Dalam buku ini, Ia tidak hanya menulis pengalaman pribadinya sebagai perenungan, namun juga pengalaman orang lain, serta buku-buku pengembangan diri best-seller dunia yang Ia baca seperti Success 101, The Secret,  dan Lesson from the Top. Semuanya terangkum menjadi sebuah buku yang ringan dibaca namun sanggup memberikan big effect yang positif terhadap pembacanya.
Buku ini terdiri dari empat bagian dimana setiap bagian bagaikan potongan-potongan mozaik yang akan membawa pembacanya untuk terus membaca hingga halaman terakhir dan menarik intisarinya sendiri. Dengan gaya bahasa bertutur bak seorang teman, sang penulis tidak berusaha menggurui untuk membuat pembacanya paham nilai-nilai kesuksesan yang terdapat dalam buku ini.
Kelebihan buku ini dibandingkan buku-buku motivasi sejenis ialah pada setiap tip yang diberikan, terdapat contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini membuat setiap tip kesuksesan yang diberikan mudah dipahami dan tidak cenderung teoritis yang malah dapat membuat para penulis bosan. Dalam buku ini juga diberitahu bagaimana menerapkannya dalam kehidupan.
Selain itu, logika yang diberikan cukup logis dan mudah diterima. Contohnya pada salah satu tip di bagian ketiga buku ini: share and receive. Mengapa kita harus membagikan ilmu yang kita punya? Bukankah dengan begitu orang lain dapat menyamai bahkan melebihi kepintaran kita, lantas kita akan tersaingi? Padahal sebaliknya. Mengajarkan orang di sekitar kita untuk lebih pintar akan memudahkan kita ketika harus bekerja dalam tim. Sebab beban kerja akan lebih ringan apabila kita bekerja dengan sekumpulan orang yang sama atau lebih pintar dari kita dibandingkan hanya kita seorang yang pintar dalam tim.
Masih banyak lagi tip untuk mengembangkan dan memaksimalkan potensi dalam meraih kesuksesan yang akan anda temukan dalam buku ini. Akhirnya, pembaca sendirilah yang akan memutuskan apakah ingin segera sukses atau menundanya. Seperti yang disampaikan penulis dalam halaman 156: motivasi sesungguhnya hanya bisa ditimbulkan dari dalam diri sendiri sebab mau sehebat apapun orang yang memotivasi, pembacalah yang mengambil langkah pertama dan berbuat.
So, segeralah mengambil langkah awal untuk sukses di usia muda, segera setelah membaca buku ini!