Memaknai Cyberculture dan Kebudayaan Pascaruang
Oleh: Muhammad Izzan Mursyidan
Dua orang mahasiswa duduk berdampingan di
kantin sembari menunggu pesanan makanan masing-masing. Mereka telah bersahabat
bertahun-tahun lamanya. Lima menit berlalu sembari menunggu makanan, tak ada
sepatah kata pun mereka ucapkan, bahkan melirik pun tidak. Bukan karena
keduanya sedang mempunyai masalah. Terbukti, mereka justru tersenyum atau
tertawa seskali. Sayangnya, bukan terhadap satu sama lain, namun kepada gadget
yang mereka asyik masyuk menggunakannya.
Gambaran
di atas memang tidak benar-benar penulis alami. Namun situasi serupa tentunya
sering terjadi dalam ruang-ruang sosial di era kontemporer. Atau mungkin anda
sendiri memiliki empiris tenggelam dalam aktifitas artifisial dalam gadget?
Nyatanya, kita telah menempatkan gadget sebagai kebutuhan primer dalam
aktifitas kehidupan kita. Diakui atau tidak, gadget dengan jejaring sosialnya-facebook,
twitter, blackberry messenger, whatsApp-telah mengintervensi aktifitas sosial
kita di dunia nyata.
Media
sosial yang marak digandrungi sekarang ini memang tidak bisa disalahkan. Hal
itu merupakan hasil dari penalaran manusia yang sselalu ingin maju. Namun
tujuan penciptaan teknologi yang sesungguhya untuk membantu kegiatan manusia
telah bertransformasi menjadi sebuah kebutuhan utama yang menggantikan kegiatan
manusia di ruang fisik. Hingga akhirnya dunia fisik disubstitusi oleh dunia
maya: cyberspace.
Istilah cyberspace pertama kali
diperkenalkan Wiliam Gibson dalam novelnya (Neuromancer, 1984). Gibson ,penulis
novel science-fiction, menggambarkan
realitas maya yang dapat menggantikan realitas nyata. Cyberspace menjadi seting
utama novel-novel Gibson selanjutnya: Count
Zero (1986), Monalisa Overdrive (1988),
dan Virtual Light (1993).
Apabila dunia nyata tercipta dari
atom, cyberspace tercipta dari satuan bit (digit biner) yang membentuk lautan informasi. Bit inilah
satuan terkecil DNA informasi yang membentuk aktivitas baru di ruang virtual. Bit,
disimbolkan sebagai 1 atau 0 ( menunjuk dua keadaan: on-off, hidup atau mati) , menjadi komputasi dasar dunia digital.
Cirinya adalah tidak mempunyai berat dan dapat bergerak dalam kecepatan cahaya.
Sebuah
keniscayaan bahwa cyberspace dapat menimbulkan penyebaran wacana dan
multi-personalitas. Kini siapapun dapat menulis informasi, mengabarkan berita,
mengkritik orang lain melalui dunia maya. Akibatnya kuasa informasi tidak lagi
terpusat. Siapapun dapat melakukannya
asalkan mempunyai akses terhadap informasi. Inilah yang dikatakan Michel
Foucault tentang tiadanya kekuasaan informasi yang terpusat di dunia era
posmoderen.
Keniscayaan
yang kedua adalah multipersonalitas. Di alam virtual, identitas ditampakkan
melalui citra diri seperti avatar dan gambar lainnya yang dapat dipilih sesuka
hati. Potret diri yang dinilai kurang akan dihilangkan, sedangkan potret diri
yang menarik akan kita tampilkan. Bahkan dapat kita ubah dengan bantuan peranti
lunak seperti photoshop.
Dunia
virtual cenderung bebas dan tidak ada batas dalam menampilkan image. Bukan hal yang sulit membuat
representasi diri di alam virtual. Hanya memerlukan akses terhadap ctberspace
dan mengisi data sesuai keinginan kita sebagai persyaratan. Seorang perempuan
dapat berpura-pura menjadi laki-laki di alam virtual. Seseorang yang sudah
punya pacar dapat mengaku jomblo pada kenalannya di dunia maya. Bahkan kita
tidak akan dapat membedakan apabila seekor monyet mengkonstruksi citra sebagai
manusia di alam virtual. Dalam cyberspace, self
menjadi self-fashion atau self-create.
Kebebasan
yang didapat dalam cyberspace juga mengakibatkan efek negatif. Seseorang dapat
meninggalkan norma-norma dan nilai-nilai yang didapatnya di realitas sosial.
Anak kecil dengan leluasa melihat adegan kekerasan yang belum tentu dapat
dikritisi oleh kognisinya. Seseorang bebas mendapatkan bit pornografi tanpa
persyaratan usia. Bahkan penipuan dalam e-commerce
atau online shopping juga ditunjang
cyberspace.
Cyberculture
Kemudahan
ini membuat kita semakin intens berada dalam cyberspace ke timbang ruang fisik.
Orang tidak perlu ke bank untuk mentransfer uang karena ada fasillitas e-banking.
Orang jarang bertatap muka langsung sejak ada jejaring sosial. Orang bisa
mendapatkan pakaian dan barang lainnya tanpa perlu jauh-jauh ke mall. Bahkan
tidak perlu keluar kamar untuk mengkritik suatu rezim. Cukup di depan komputer.
Banyak
aktivitas dalam cyberspace yang dapat menggantikan usaha kita di ruang fisik.
Mulai dari hiburan, politik, fashion, sosial, segala kebutuhan terpenuhi di
alam virtual. Ini menimbulkan sebuah keadaan yang dinamakan ‘kesadaran
pascaruang’. Yakni kondisi di mana manusia tidak lagi berinteraksi di wilayah
yang dibatasi oleh ruang, melainkan berpetualang jauh di ruang tanpa ruang:
cyberspace.
‘Kesadaran
pascaruang’ ini muncul ketika manusia ter-upload
ke dalam cyberspace dan menjadi bagian dari ekologi elektronik. Efek signifikan
yang diakibatkan ‘kesadaran pascaruang’ adalah hilangnya kesadaran ruang dan
kesadaran sosial. Manusia memosisikan diri sebagai bagian dari dunia cyber dan
lebih mengakui ekistensi virtualnya ketimbang eksistensi fisiknya. Kesadaran
sosial juga akan hilang sebab manusia, melalui kesadarannya, akan tersedot
menjadi salah satu entitas dalam ekologi elektronik.
Kebudayaan
pascaruang: substitusi kebudayaan ruang
Kesadaran
pascaruang ini akan membawa manusia menuju tranformasi kebudayaan pascaruang. Orang
rela berjam-jam mencari teman di facebook dan mendapatkan kepuasan ketika
temannya bertambah, namun di saat yang sama tidak mencari teman dalam realitas
sosial secara fisik. Bahkan kesadaran ruang sudah tercerabut ketika seseorang
memiliki ratusan teman di jejaring sosial yang tidak dikenalnya.
Perbedaan
mendasar antara cyberculture dengan kebudayaan pascaruang adalah kesadaran
sesorang saat berada dalam cyberspace. Pada fase cyberculture, orang masih
memiliki kesadaran untuk membedakan alam natural dengan alam virtual. Sehingga
apa yang ia lakukan dalam alam virtual hanya selama aktivitas itu menunjang
kehidupannya dalam alam natural. Contohnya ketika seorang mahasiswa menggunakan
email untuk mengumpulkan tugas kuliah.
Ia menggunakan fasilitas cyberspace karena kebutuhan kuliahnya yang dilakukan
di ruang fisik.
Kebudayaan
pascaruang telah mutlak terjewantahkan ketika seseorang menekuni cyberspace
tanpa memedulikan eksistensinya di ruang fisik. Kebudayaan pascaruang ini
tergambarkan oleh seseorang yang menangisi kekalahannya dalam suatu game
online, namun tidak merasa apa-apa ketika salah satu tetangganya meninggal.
Atau merasakan kepedihan yang mendalam saat teman chat-nya yang baru dikenalnya di facebook tiba-tiba offline, namun bergeming saat teman di realitas nyata marah
meninggalkannya.
Pada
akhirnya, diskursus kebudayaan pascaruang ini akan kembali kepada individu
masing-masing selaku entitas dalam kedua ruang: ruang natural dan ruang
virtual. Bagaimana manusia menempatkan posisinya dalam realitas sosial yang
tidak dapat dipisahkan dengan cyberspace pada era keterbukaan informasi. Jadi,
di manakah posisi anda dalam konstelasi dua realita yang ada ?
Sumber:
Cultural
Studies, teori dan praktik ( Chris Barker)
KUNCI No. 2, September
1999. Melalui http://kunci.or.id/esai/nws/02/cyberculture.htm (terakhir diakses
Juni 2012)
CYBERCULTURE,
TRANSFORMASI KEBUDAYAAN PASCARUANG, DAN BAYANG-BAYANG KEMATIAN SOSIAL Oleh
Fahd Djibrai. Melalui http://komahi.umy.ac.id/2010/12/cyberculture-dan-transformasi.html (terakhir
diakses Juni 2012)