"Sebab menulis adalah peristiwa menyejarah"- @mizzanmrsydn

Kamis, 24 November 2011

Essai


Dramatisasi Reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu II
Oleh MUHAMMAD IZZAN MURSYIDAN
Drama politik pemilihan menteri dan wakil menteri Kabinet Indonesia Bersatu II telah berakhir pada Selasa (18/10) malam. Di Istana Merdeka, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, didampingi Wakil Presiden Boediono dan Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, mengumumkan perubahan susunan menteri Kabinet Indonesia Bersatu II.
            Hasilnya, Kabinet Indonesia Bersatu II lebih gemuk dan memiliki rantai birokrasi yang panjang dengan penambahan wakil menteri. Total, reshuffle kali ini, terdapat 7 menteri baru, 4 menteri yang digeser, 11 wakil menteri, dan 2 wakil menteri yang bergeser. Ditambah dengan 10 wakil menteri yang diangkat pada awal periode kedua pemerintahannya, Yudhoyono kini mempunyai 19 wakil menteri (Kompas, 19/10/2011).
            Apakah dengan perombakan tersebut, kinerja pemerintahan Presiden SBY menjadi lebih baik di sisa pemerintahannya? Agaknya kita tidak dapat terlalu berharap akan adanya perbaikan. Perombakan tersebut hanya dijadikan usaha politik citra yang dijalankan SBY. Sang Presiden rupanya ingin menunjukkan seakan-akan dia serius ingin memperbaiki pemerintahan sebelumnya. Hal ini diperlihatkan dengan lamanya pemanggilan terhadap wakil menteri sejak hari Kamis, pekan sebelum pengumuman, kepada publik yang menyedot perhatian besar sejumlah media massa. Hingga Minggu, di kediaman Presiden di Puri Cikeas Indah, pemanggilan masih berlangsung dan baru berakhir pada Selasa. Menteri yang terakhir dipanggil adalah Rektor Universitas Cendrawasih Baltazar Kambuaya.
            Motif yang kedua adalah pembagian kekuasaan terhadap partai politik mitra koalisi. Penambahan wakil menteri dari kalangan profesional mengindikasikan Presiden Yudhoyono meragukan kapasitas menterinya. Namun dia tidak leluasa untuk menunjuk menteri yang mumpuni sebab sudah terikat dengan kontrak politik. Kontrak politik ini, antara lain, dibeberkan Wakil Sekjen PKS Mahfudz Siddiq yaitu kontrak politik antara SBY dengan PKS.
            Mahfudz menjelaskan, PKS memiliki tiga kontrak politik yang dibahas dan disetujui langsung antara Ketua Majelis Syura Hilmi Aminuddin dan Presiden. Kontrak politik pertama berisi dukungan PKS terhadap Yudhoyono dan Boediono. Kedua, dukungan PKS sebagai koalisi dalam pemerintahan dan di parlemen. Ketiga, berupa pembagian kekuasaan atau power sharing antara PKS dan Yudhoyono-Boediono.
Penggemukan kabinet
            Penambahan wakil menteri yang dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja kementerian, menurut Eep Saefulloh Fatah, hanya akan jadi tambahan organ birokrasi. Manakala tak tersedia mekanisme dan hubungan yang sehat dengan para menteri dan pejabat eselon 1 di sekitar menteri itu, wakil menteri potensial jadi beban bagi kepemimpinan departemen/kementerian. Bagi departemen/kementerian negara yang sehat, penambahan wakil menteri berpotensi mengurangi kebugaran. Sementara di departemen/kementerian yang sudah tak bugar bisa tercipta situasi sudah jatuh tertimpa tangga pula. Pemerintahan kian tambun dan diisi banyak pejabat baru yang jadi beban politik dan birokrasi (serta finansial) baru (Kompas, 19/10/2011). Padahal, di negara-negara yang kementeriannya memiliki wakil menteri, Amerika Serikat, misalnya, disebabkan jumlah departemen/kementerian di sana tidak sampai 20. Setiap departemen/kementerian menangani banyak bidang sehingga membutuhkan wakil menteri.
            Menteri baru yang ditunjuk masih didominasi politikus; menteri dari parpol berjumlah 18 orang, menteri dari profesional berjumlah 16 orang. Selainitu, penunjukan para menteri terkesan kental sikap cari aman presiden dan kontroversial. Menteri Perdagangan yang baru, Gita wirdjawan, dinilai tidak sesuai dengan misi penguatan kesejahteraan masyarakat. Meski memiliki kompetensi bagus, Wirdjawan selama ini dinilai memberi karpet merah bagi investor asing dan liberalisasi. Menteri Lingkungan Baltazar Kambuaya, penunjukannya terkesan hanya perimbangan politik berupa representasi daerah. Putra asli Papua ini dipertanyakan keberpihakannya terhadap lingkungan, sebab latar belakangnya adalah sarjana ekonomi. Dikhawatirkan, background Rektor Uncen ini memengaruhi arah kebijakannya di kementerian lingkungan.
Jero Wacik dipertanyakan kompetensinya mengurus masalah energi dan sumber daya mineral. Pengamat energi Pri Agung Rakhmanto menyatakan, penunjukan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang baru lebih mempertimbangkan kepentingan politik. Kementerian itu secara politik dipandang strategis sehingga tetap harus dipegang kader partai yang memerintah (Kompas, 19/10/2011). Seharusnya penunjukan Menteri ESDM diberikan kepada orang yang benar-benar memiliki initegritas dan kapabilitas. Sebab, Kementerian ESDM bisa menjadi tantangan yang paling berat dalam hal stabilitas ekonomi. Hal ini karena kementerian tersebut bertanggung jawab atas kebijakan pemenuhan energi, subsisdi BBM, subsidi listrik, dan pencapaian lifting migas.
Rakyat bosan disuguhkan drama Cikeas yang sebenarnya bukan pertama kali karena drama sejenis telah lebih dulu ada pada saat pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II di akhir Oktober 2009. Yang rakyat inginkan bukanlah penggantian menteri dan/atau penambahan wakil menteri. Kita semua hanya menginginkan peningkatan kinerja pemerintah di sisa tiga tahun masa pemerintahan SBY. Bahkan masa efektif hanya dua tahun, sebab pada 2013 pemerintah sudah berfokus menjelang pemilihan presiden baru. Kita harapkan, SBY bukan tidak menghasilkan dan meninggalkan warisan sistemis penting apa-apa bagi Indonesia di masa pemerintahannya yang dalam waktu lama.

Mahasiswa Paripurna


Oleh MUHAMMAD IZZAN MURSYIDAN
Di kalangan mahasiswa sekarang, terkenal istilah kura-kura, kupu-kupu, dan kunang-kunang.
Istilah tersebut ada bukan tanpa sebab. Istilah tersebut, dapat dikatakan, merupakan gambaran tipe mahasiswa secara umum  berdasarkan aktivitasnya di kampus. Kura-kura–kuliah rapat kuliah rapat–ditujukan bagi para mahasiswa yang sibuk berorganisasi. Kuliah rapat kuliah rapat menggambarkan, secara hiperbola, aktivitas mereka mengikuti salah satu agenda wajib di setiap organisasi mahasiswa: rapat. Banyak yang menegasikan mahasiswa seperti ini memiliki IPK di bawah rata-rata, jarang pulang ke rumah, dan menomorduakan kuliah. Segi positifnya, mahasiswa aktivis seperti ini biasanya memiliki pengalaman, link, dan softskill  yang tidak didapatkan di dalam kelas namun sangat berguna dalam menekuni dunia kerja.
            Tipe berikutnya: kupu-kupu–kuliah pulang kuliah pulang–adalah mahasiswa yang cenderung menyegerakan pulang begitu mata kuliah selesai. Bagi tipe mahasiswa seperti ini, kampus hanyalah tempat untuk menuntut ilmu dan mendapatkan IPK tinggi agar cepat lulus dan bekerja. Mereka cenderung bersifat apatis terhadap lingkungan sekitarnya dan jarang bergaul. Bahkan, sangat sulit menemuinya di luar jadwal kuliah. Karena itu, selama empat tahun–lama masa perkuliahan umumnya–pergaulan dan pertemanannya sangat sempit bila dibandingkan dengan mahasiswa aktivis yang bertipe kura-kura.
            Terakhir adalah kunang-kunang–kuliah nangkring kuliah nangkring. Istilah ini ditujukan bagi mahasiswa yang gemar berkumpul dan mengobrol bersama gengnya yang cenderung hanya menghabiskan waktu sia-sia.  Mengobrol berbeda dengan diskusi. Saat diskusi, kita memilki suatu permasalahan yang jelas dan dicari solusinya dengan tahapan yang sistematis. Sedangkan mengobrol yang biasanya dilakukan mahasiswa tipe kunang-kunang adalah pembicaraan yang tidak jelas juntrungannya dan berakhir tanpa hasil. Tipe mahasiswa inilah yang paling merugikan sebab hanya menjadi “sampah peradaban”. Berbeda dengan kedua tipe lainnya, mahasiswa kunang-kunang hanya menghabiskan masa kuliahnya tanpa memiliki tujuan dan jati diri yang jelas. Mahasiswa yang tidak memiliki orientasi selama kuliah sangat mudah terombang-ambing dan cenderung menjalani kuliah sebagai formalitas.
Kuliah yang pertama, organisasi yang utama
            Menjalani kuliah dengan tekun dan serius adalah salah satu bentuk tanggungjawab kita terhadap orangtua, negara, dan agama. IPK memang penting sebab merupakan salah satu aspek yang dipertimbangkan bagian personalia ketika menyeleksi karyawan. Namun tentunya, tugas mahasiswa sebagai kaum elite intelektual bukan hanya mendapat nilai tinggi dan lulus cepat, apalagi menghalalkan segala cara. Sepatutnya, mahasiswa menggunakan waktunya selama kuliah sebagai “kawah candradimuka” untuk meningkatkan kualitas diri sebagai mahasiswa yang paripurna.
            Salah satu media pembelajaran dan pengembangan yang ada di kampus adalah organisasi. Begitu banyak pilihan organisasi di kampus, baik yang bergerak di bidang keagamaan, jurnalistik, seni, olahraga, kesehatan, kajian maupun gabungan dari beberapa bidang tersebut, yang dapat kita ikuti. Selain meningkatkan pengalaman, mendapatkan teman dari berbagai fakultas–organisasi tingkat universitas–, dan membuka wawasan baru, kita dapat mengembangkan potensi diri yang selama ini belum ter-explore. Dengan masuk ke organisasi pemerintahan, misalnya, kita dilatih untuk lebih peka terhadap perubahan sekitar kita. Organisasi melatih kita bekerja di bawah tekanan, bekerja sebagai sebuah tim (teamwork), mengorganisasikan acara, mengartikulasi ide dan banyak lagi manfaat yang dapat diambil.
            Organisasi begitu penting bagi mahasiswa, sebab setiap mahasiswa niscaya pernah berada di titik jenuh dalam belajar. Saat itulah kita dapat memompa semangat kita dengan aktif di organisasi. Mereka yang aktif di organisasi, cenderung lebih dewasa sebab ditantang untuk menyelesaikan masalah yang lebih besar dibandingkan mereka yang hanya menjalani kuliah tanpa berorganisasi.
            Perkuliahan dan organisasi sesungguhnya bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Dengan manajemen waktu yang baik,sekiranya  mahasiswa dapat membagi urusan organisasi dan tugas-tugas perkuliahan. Kelak setelah lulus, siap menjadi pribadi yang memiliki integritas, wawasan, dan kemampuan–hardskill dan softskill–untuk memasuki dunia kerja.

Selasa, 15 November 2011

Antitesis Mahasiswa

Aku mahasiswa
Garda depan perubahan
Perjuangan mimpi-mimpi kerakyatan
Lentera untuk gelap krisis
Kurir perubahan

Aku mahasiswa
Pahlawan nyata harapan rakyat
Peneriak kejahatan penguasa
Pengawal kebijakan yang memberi hidup rakyat
Saudara kembar reformasi

Tapi itu antitesis
Tesisnya realita kekinian

Karena kini aku tak lagi berperan
Terbelenggu hedonisme dan konsumerisme
Menjadi boneka kapitalis
Berubah menjadi pragmatis

Aku…
Maha dari siswa
Aku…
Yang bercita menjadi Mahasiswa

Rawamangun 16/11/2011

Rabu, 09 November 2011

Makna SEA Games bagi Indonesia


SEA Games seolah angin segar di tengah krisis multidimensi yang melanda bangsa kita. Isu-isu  politik, sosial, dan ekonomi setidaknya dapat kita lupakan sejenak untuk mendukung para atlet kita di SEA Games.  Perbedaan-perbedaan–suku, agama, ras, dan antargolongan– ditiadakan. Atlet, pemerintah, dan masyarakat saling bersinergi mengharumkan nama Indonesia.
SEA Games juga meningkatkan pendapatan masyarakat lokal terutama daerah yang digunakan untuk perhelatan SEA Games. Tentunya dengan perhatian yang lebih dari pemerintah kepada usaha kecil menengah yang mayoritas. Tanpa itu, sulit bagi mereka untuk mengembangkan usahanya. Selain itu, SEA Games merupakan ajang promosi pariwisata Indonesia. Inilah momentum yang tepat untuk memperkenalkan kekayaan budaya dan alam Indonesia kepada masyarakat dunia.
Peluang para atlet Indonesia cukup terbuka bila melihat sejarahnya di SEA Games sebelumnya. Terlebih, kini mereka berlaga di negeri sendiri. Dukungan langsung dari seluruh lapisan masyarakat diharapkan mampu meningkatkan penampilan mereka. Raihan medali tentunya dapat menjadi oase di tengah konflik yang terus-menerus menyerang eksistensi bangsa i ni. Juga menandakan kebangkitan beberapa cabang olahraga yang sedang “mati suri”.
Seluruh masyarakat menggantungkan harapan dan memberikan dukungan kepada seluruh atlet. Baik itu materil maupun non-materil. Dengan kemauan dan kerjasama berbagai elemen bangsa, kita harap SEA Games XXVI ini sukses dalam hal penyelenggaraan maupun prestasi. Semoga.

Krisis Peran Pemuda
Oleh MUHAMMAD IZZAN[1]
Lain pemuda dahulu, lain juga pemuda sekarang. Di zaman pra-kemerdekaan, pemudanya berjuang keras bagaimana melepaskan diri dari cengkraman penjajah. Hingga pada tanggal 28 Oktober 1928 mereka memproklamirkan sumpah pemuda sebagai manifestasi persatuan pemuda-pemuda Indonesia.
Peran pemuda juga sangat besar dalam proses kemerdekaan. Dengan heroik orang muda menculik Soekarno dan Hatta agar terlepas dari pengaruh Jepang. Mereka teguh memegang idealisme mereka agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan meski bertentangan dengan golongan tua yang menunda kemerdekaan. Indonesia memerdekakan dirinya secara independen tanpa pemberian dari Jepang. Tanpa keberanian mereka, niscaya para founding father negeri ini tak akan memprakarsai kemerdekaan Indonesia secepat itu.
Selanjutnya peran pemuda mengawal berlangsungnya pemerintahan. Generasi yang dikenal  dengan angkatan 66 membuat Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya lengser keprabon. Soe Hoek Gie dan teman-temannya menjadi lokomotif utama yang peduli terhadap kezaliman penguasa terhadap rakyatnya.
Pada tahun-tahun berikutnya peran pemuda semakin dinamis. Generasi 1974 melawan kapitalisme, yang begitu massif, dan mengatasnamakan kebebasan akademik. Menggagas gerakan yang dikenal dengan Malari (Malapetaka 15 Januari) yang disertai pembakaran aset orang Jepang di Indonesia.
Empat tahun berselang, angkatan 1978 memprotes kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang membelenggu idealisme politik mahasiswa. Angkatan 1980 membawa isu korupsi, kolusi, dan nepotisme yang santer di lingkaran Soeharto. Meruntuhkan hegemoni Soeharto beserta kroco-kroconya selama puluhan tahun.
Degradasi peran pemuda
“Beri Aku sepuluh pemuda, maka Aku akan mengguncang dunia.” Nyatanya pemuda Indonesia dewasa ini bisa dikatakan tidak relevan lagi dengan pernyataan Bung Karno saat itu. Negeri ini, pemudanya telah begitu larut dalam buaian hedonisme dan konsumerisme yang begitu akut.
Seolah mengulang sejarah tentang perjuangan pemuda sebelum kemerdekaan. Neokolonialisme dengan beragam bentuknya telah mampu menghanyutkan pemuda yang didaulat sebagai agen perubahan. Jangankan untuk memikirkan masalah bangsa dan negara. Mereka malah asyik dengan kebutuhan-kebutuhan baru yang diciptakan kaum kapitalisme.
Terjunnya pemuda di ranah politik tidak berbeda dengan seniornya yang lebih tua. Keberadaan mereka hanya sebagai pemanis. Di samping fakta: tingkat daya saing yang rendah. Mereka masih berada di bawah bayang-bayang seniornya di partai. Tak ada gebrakan-gebrakan khas pemuda untuk memperjuangkan hak-hak rakyat layaknya pemuda sebelumnya.
Dampaknya, peran pemuda di era kontemporer semakin mengempis di tengah menggembungnya jumlah pemuda dalam demografi Indonesia. Rakyat tidak lagi mempunyai media yang sejalan dengan kebutuhan mereka. Elit politik bebas sewenang-wenang seiring kematian peran pemuda.
Degradasi pemuda berarti juga degradasi peradaban suatu bangsa. Jika tak ada perubahan bagi jiwa setiap orang muda, mau seperti apa bangsa kita?


[1] Penggiat antikapitalisme

Minggu, 30 Oktober 2011

"LKM Visit Library" dalam Feature



KUNJUNGAN PERPUSTAKAAN DI AKHIR PEKAN
Minggu, 30 Oktober 2011 | 2:45 WIB
“Sebelum memulai perjalanan, hendaklah kita memanjatkan do’a agar kita selamat dalam perjalanan,” himbau Ketua Lembaga Kajian Mahasiswa Uiversitas Negeri Jakarta Rianto kepada para anggota LKM, Sabtu (29/10) siang.
Setelah itu bus berangkat dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menuju Menteng, Jakarta Pusat. Hari itu memang ada yang berbeda dari LKM. Ormawa, yang memiliki prinsip MEDIS ini, mengagendakan kunjungan ke dua perpustakaan besar di Jakarta.
Bukan sekadar rekreasi, namun menambah wawasan dan pengalaman yang menjadi landasan mereka. “Setelah kunjungan ini selesai, kalian ditugaskan untuk membuat feature tentang pengalaman kalian ke Perpustakaan Freedom dan Perpumda,” ungkap Rianto, menyebutkan dua perpustakaan yang menjadi tujuan mereka.
Di perjalanan, terpancar raut gembira dan antusiasme dari wajah para peserta. “Wah, jarang-jarang, nih, kita bisa pergi bersama-sama seperti ini,” ujar Joko (18), salah seorang peserta. Selama perjalanan, yang dipenuhi oborolan dan canda para peserta, bus berkapasitas 25 orang itu tidak menemui hambatan yang berarti.
***
Tidak butuh waktu lama, bus terparkir di depan Wisma Proklamasi–lokasi Perpustakaan Freedom–, Menteng, Jakarta Pusat. Setelah mengisi dan menyerahkan formulir pembuatan kartu anggota–berlaku untuk umum dan gratis–para peserta langsung menyusuri setiap jengkal gedung perpustakaan yang berdiri di bawah naungan Freedom Institute tersebut.
Perpustakaan Freedom, yang juga memfasilitasi wireless internet, menyediakan banyak koleksi majalah, buku, jurnal, dan koran yang mencakup bidang-bidang filsafat, agama, sosiologi, politik, ekonomi,  dan sastra, dalam negeri maupun luar negeri. Terdapat juga sebuah ruang untuk diskusi, bedah film, dan bedah buku yang saat itu sedang dipakai untuk pemutaran film.
Setelah shalat dzuhur di mushola perpustakaan, rombongan bersiap-siap meninggalkan perpustakaan, yang buka setiap hari, namun tutup pada hari libur nasional tersebut. Sembari menanti peserta yang masih bersiap, peserta lain tidak menyia-nyiakan waktu untuk mengabadikan diri mereka.
“Ayo, kumpul untuk foto-foto dulu!” seru Riyanto sembari memegang kamera. “Okeee!” koor peserta yang lain. Beberapa titik pun segera menjadi sasaran hasrat fotografi para peserta yang kebanyakan masih berusia 18-20 tahun.
***
“LKM’ers”–sebutan untuk para anggota LKM–sudah tak sabar  memperkaya wawasan mereka di “samudera ilmu” yang menjadi tujuan selanjutnya, yaitu perpustakaan umum daerah (Perpumda) Provinsi DKI Jakarta.
Setelah menghabiskan makan di kantin sebelah gedung Perpumda dan memulihkan tenaga. Rombongan bergegas mengarungi “samudera ilmu” yang terletak di lantai tujuh dan delapan Gedung Nyi Ageng Serang, Jakarta.
Di perpustakaan milik pemerintah ini, sama seperti sebelumnya, setiap peserta antusias untuk mendaftar sebagai anggota. Namun, sebagian peserta harus kecele karena tidak mempunyai kartu tanda penduduk (KTP) Provinsi DKI Jakarta, yang menjadi persyaratan.
“Memangnya tidak bisa Bu, jika menggunakan kartu tanda mahasiswa (KTM) UNJ?” tanya Desi (19), salah satu peserta, kepada petugas administrasi Perpumda.
Lain lagi Rizky (18), salah satu peserta yang memiliki KTP DKI Jakarta. “Waduh, saya lupa memfotokopi KTP saya tadi,” alhasil, ia belum bisa menjadi anggota Perpumda.
Cukup banyak pemustaka perpustakaan dengan koleksi 41.731 judul buku dan 105.405 eksemplar, siang itu. Total pengunjung pada bulan Juni 2011 saja, berjumlah 5.835; 1.991 anak-anak dan 3.844 remaja/dewasa. Mayoritas yang berkunjung adalah mahasiswa S-1 yang mencari referensi untuk kuliahnya.
“Panas, nih, hawanya. Biasanya ruangan ini dingin oleh pendingin ruangan,” kata Luthfi (21), salah seorang peserta yang kerap mencari referensi di Perpumda. Pendingin ruangan di Perpumda memang sedang dimatikan sebab sedang ada pekerjaan.
“Sedang ada penambahan lemari dan meja untuk mengantisipasi penambahan buku setiap tahunnya,” ujar seorang pekerja yang tidak diketahui namanya.
“Proses pengerjaan telah dilakukan dari hari Kamis (27/10),” tambahnya.
Meskipun begitu, keseriusan dan antusiasme setiap peserta tidak berkurang sedikitpun.
Perpustakaan yang terletak di sebelah GOR Soemantri Boedjonegoro ini terdiri dari dua lantai. Lantai delapan untuk referensi, seperti koran, jurnal, majalah, dan kamus. Sedangkan lantai tujuh, selain perpustakaan, terdapat layanan anak-anak dengan televisi, komputer untuk bermain game virtual, serta rak-rak komik dan buku-buku dongeng anak yang dipenuhi anak-anak.
“Banyak buku cerita dan dongeng bergambar yang menarik. Selain itu, petugasnya juga baik-baik,” kata Ema (14), pelajar SMP, yang datang ke ruang layanan anak-anak bersama salah satu temannya.
Tidak hanya membaca, para peserta juga memanfaatkan fasilitas wireless internet yang ada. Bahkan, beberapa peserta mencoba melepas lelah dengan tidur di atas karpet ruangan atau sofa yang disediakan di lantai tujuh.
Kira-kira pukul 17.00, rombongan kembali ke kampus tercinta menggunakan bus yang sama. Bersiap memulai aktivitas kampus yang sedang “musim” ujian. Tentunya, dengan wawasan dan ilmu yang bertambah. Semua yang dikorbankan sepadan dengan hasil yang mereka dapatkan. (MIM)