"Sebab menulis adalah peristiwa menyejarah"- @mizzanmrsydn

Minggu, 29 Desember 2013

puisi

http://www.anneahira.com/lautan-luas.htm
Lautan Kehidupan dan Kawan

Berenanglah dalam kesulitan, Kawan!
Renangilah lautan aral dan
Kalahkanlah ombak rintangan
Menyelamlah di antara karang keputusasaan
Percayalah pada kaki-kaki keyakinanmu
Ayuhkanlah kuat-kuat tangan kerja kerasmu
Agar kelak bila kau tiba di garis pantai kematian
Kau dapat tersenyum, karena kau selami
Lautan jernih kesuksesan
Yang di dalamnya penuh riak prestasi
Dan langit yang menaungimu
Akan memberikan sunset  terindah yang dimilikinya untukmu
Seakan ia juga tersenyum merayakan keberhasilanmu
Beserta ikan dan para penghuni laut yang tersenyum
Sebelum menangis atas kesudahan dan kepergianmu

Renangilah laut yang dalam, Kawan!
Karena ombak akan membentuk
Hatimu menjadi lembut dan hidup
Karena karang akan melatih
Tekadmu menjadi keras dan tak terkalahkan

Cintailah ombak yang keras menghantam
Rengkuhlah karang yang menghalang
Dan jadilah pemenang
Di samudera kehidupan, Kawan!

Jumat, 27 Desember 2013

puisi


Ini tentang pagi
tentang embun yang membasahi            
rumput, ilalang, dan hamparan padi

tentang  segelas susu dingin
dan sarapan getuk lindri
dan buku yang semalam tertiduri

Sadarkah, Tuhan selalu memberi hadiah
setiap hari. Ya, pagi adalah kado dari-Nya
atas ikhtiar di hari sebelumnya dan
istirahat di malam hari yang
penuh dengan harapan dan mimpi indah

Pagi adalah jawaban
Untuk lelah di malam hari
Dan mata yang tak kuat menahan kantuk.
Karena pagi adalah waktu melunasi janji
Dan ikhtiar lagi merebut mimpi


25/12/2013

Senin, 23 Desember 2013

kontemplatif

Sertifikasi

Minggu siang, Aku main ke kampusku untuk sekedar bertemu teman yang lama tak jumpa. Mereka sekondan organisasi penalaran di pusat kegiatan mahasiswa universitas. Aku kangen dengan suasana liar pembelajaran dan debat yang penuh gairah keingintahuan saat dulu aktif di sana.
 
Menyusuri jalan kampus, setelah sebelumnya membeli beberapa buku baru dari Gramedia Matraman, ternyata ada lusinan bapak-ibu kutemui di beberapa areal kampus. Sembari berjalan santai nirbeban, seorang ibu yang berjalan bersama seorang bapak menyapaku,

“Kalau gedung sertifikasi di mana dek?”

                Ternyata gedung baru yang juga terkategorikan cukup megah yang dimiliki kampus bekas IKIP ini, lantas kujelaskan arah untuk menuju ke bangunan yang kerap disebut gedung sertifikasi itu. setelah kujelaskan, Ibu yang tak kukenal tadi sumringah lega dan berterima kasih atas jawabanku. Lantas kutanya.
              
 “Ada keperluan apa Bu?”

“Tes sertifikasi,” ujarnya

Ternyata keramaian yang agak tidak wajar di kampusku siang itu adalah para bapak-ibu guru yang mengikuti tes sertifikasi untuk dinyatakan sebagai guru, dengan segala fasilitas yang diperoleh tentunya. Berjalan lebih jauh lagi ke tempat yang ingin kutemui ternyata sudah ada beberapa peserta sertifikasi yang sedang beristirahat usai tes. Ada guru TK hingga madrasah, guru agama hingga entah apa lagi –macam-macam kukira.

***

http://harianrakyatbengkulu.com/
Sembari berjalan akupun berpikir mengenai mereka: calon guru yang kuperkirakan rata-rata sudah berkeluarga meluangkan waktu mereka untuk menjadi pengajar tersertifikasi. Omong-omong ihwal sertifikat, ada nilai simbol yang dipertaruhkan di sana. Malah sering mengalahkan nilai substansial. Untuk sebuah negeri yang mapan dan birokrasinya telah baik, sertifikat mungkin paralel dengan substansi. Sertifikat berarti isi.

Namun di negeri yang kerap menjunjung nilai-nilai simbol dengan birokrasi ,yang dalam slogan akan direformasi, sertifikat kerap menjadi penipuan kolektif tanpa disadari. Lagipula, keotentikan manusia menjadi ternihilkan dengan sertifikasi tersebut. Tak ubahnya helm yang harus tertera SNI (standar Nasional Indonesia). Itu helm yang benda mati dan tidak biasa diajak ngomong. Tapi manusia?

Tak ubahnya seperti benda mati yang diproduksi secara massal, guru pun harus beramai-ramai lulus tes untuk mendapat stempel “bersertifikasi”. Padahal sejatinya lembaga pendidikan tak sama dengan lembaga lain yang profit oriented. Baik dalam tujuan maupun nilai-nilai di dalamnya. Lantas bila sang guru sudah tersertifikasi, apakah menjadi jaminan bahwa mereka akan lebih baik dalam praksis di kelas? Apa bukan menjadi zona nyaman bagi para “bersertifikasi” untuk mengajar seadanya, toh mereka telah lulus tes sertifikasi?

Dan kita masih sering mencari sertifikasi-sertifikasi lain di berbagai bidang selama hidup ini.

puisi

http://dalmuji.wordpress.com

Malam Menggugat

Kala itu Sang Malam menggugat
Atas pagi yang dianakemaskan
Oleh Tuhan dan penduduk bumi

Padahal Malam memberi keindahan
Ia tawarkan paras yang secantik bulan, sambil
Mengenakan gaun berhias beribu bintang-bintang
Meniupkan sejuk pada semesta

Namun Malam marah, karena
Tak ada yang menemaninya
Pascasenja ia mulai menyapa
Hari itu, orang-orang tertidur pulas

Ia menyembunyikan bintang
Dan menenggelamkan bulan
Berganti angin malam, yang
Membangunkan bulu roma, membangkitkan kengerian
Dari jauh senyumnya serupa seringai

“Tidurlah Kakanda, sudah larut malam,” ujarmu
“Tidurlah lebih dulu Adinda, malam
Sedang butuh teman.
Jemputlah mimpimu lebih dulu, biar aku temani
Sang Malam.” Maka engkaupun terlelap
Lantas Malam tak lagi merajuk
Dan kembali memberi mimpi indah bagi mereka
Yang beristirahat untuk Sang Pagi

24/12/2013


puisi

http://myryani.wordpress.com/category/sahabat/
Sahabat

Pada suatu masa di musim meranggas
Kayu-kayu dan daun-daun penghias kota
Kita bertemu, tanpa ada yang menahu
Oleh siapa kita dipertemukan, Tuhan

Pertemuan kala pandangan bertemu
Dan pikiran yang saling bertaut sepanjang
waktu, memperdalam rasa
Menguatkan makna. Setiap kita bagi tiap-tiap
Kita, yang sulit terwakilkan kata

Pada jalan yang kita lalui
Tentu tak selalu mulus malah penuh liku
Yang membingungkan yang lain dan
Menghambat perjalanan yang lain
Toh sulitnya medan membuat kita
belajar persahabatan dan arti pengorbanan

Kita makin kuat dan menemukan
Anugerah persahabatan; dalam lingkaran
Yang terbentuk dari tangan-tangan kebaikan
Hingga suatu masa, satu tangan itu goyah: lepas

Jenuh, mungkin. Atau kita tak lagi melangkah
Ke satu tujuan yang sama
Hingga akhirnya kita harus meruangkan perpisahan
Untuk belajar memahami makna pertemuan
Karena jarak membuat kebersamaan indah
Dan memberi alasan untuk kisahku, kamu, dan kita

24/12/2013

kontemplatif

Oposisi

Manusia sebagai makhluk sosial hidup beramai-ramai. Dan dalam keramaian kolektif, manusia selalu mememui keterpasangan. Saat pembagian tempat duduk di sekolah, ketika naik motor berdua, hingga menanyakan arah jalan saat tersesat. Kita meruangkan saat berinteraksi empat mata dengan satu orang lain. Baik pria maupun wanita. Pokoknya berpasang-pasangan.

http://www.thedissenter.co.uk/2013/03/essential-opposition/
Dalam momen yang selintas dan sering tak kita sadari itu, kita menjadi oposisi bagi yang lain. Ada istilah lawan bicara dan lawan main. Namun makna lawan di sini tak berarti bermusuhan. Melainkan saling melengkapi.

Bayangkan bila tidak ada lawan bicara: berbicara sendiri bagai tak waras. Bayangkan bila tak ada lawan main: permainan menjadi tak utuh. Bahkan pada beberapa jenis permainan, peran lawan menjadi syarat utama. Hingga ada yang namanya exhibition match. Pertandingan latihan dengan mencari lawan main. Bahkan lawan sampai dicari!

Di panggung politik yang penuh conflict of interest juga ditemukan koalisi dan oposisi. Sama vitalnya dengan perannya dalam permainan, oposisi politik senantiasa mengawasi dan mengkritik kinerja penguasa. Terbangunlah mekanisme pengawasan yang baik bagi penyelenggara negara.

Jadi tak selamanya lawan adalah pihak yang menyulitkan. Dalam ruang-ruang kehidupan, kita tetap membutuhkan lawan. Lawan yang  mampu memberikan kita peningkatan kemampuan atau sekedar teman. Sepi bukan apabila berjam-jam menunggu bus tanpa ada lawan bicara?

kontemplatif

Kritik

Lebih tajam dari pedang, lebih membekas daripada luka, lebih menusuk daripada duri. Kritik! Dapat membuat orang serasa kebakaran jenggot. Terbakar panas telinganya. Tak tidur semalaman. Apalagi kalau datangnya dari orang yang kita pandang.

Sering, kita tak menerimanya. Bukan membiarkannya masuk telinga kanan lantas keluar telinga kiri. Melainkan sama sekali tak menerimanya. Kembali mengkritik sang pengkritik. Gelap mata hingga dapat main tangan.
http://leadershipfreak.wordpress.com/2012/07/09/giving-criticism-like-a-pro/

Tapi mungkinkah, hidup tanpa kritik? Adakah sebuah dunia tanpa kritik?
Mustahil, dan jangan sampai terjadi. Bukan karena selalu ada manusia yang tidak suka dan mencari-cari kesalahan orang lain. Melainkan nanti dunia akan menjadi tempat yang stagnan dan tak sebaik ini. Orang-orang akan tidak mengetahui kesalahannya. Pemerintah menjadi terlalu yakin keberhasilannya. Seniman menjadi terlalu puas akan karyanya.

Memang ada kritik dekstruktif. Temannya: kritik konstruktif. Perbedaannya memang tak jauh. Bahkan kritik konstruktif sekalipun dapat diinterpretasi jadi kritik dekstruktif. Amat bergantung pada sang objek kritikan; mau menerimanya sebagai masukan atau celaan.

Kritik bagaikan bahan masakan. Kitalah koki yang menentukan bahan makanan mana yang kita buang dan ambil untuk dijadikan makanan lezat yang baik bagi jiwa kita. Jadi, berterimakasihlah pada para pengkritik hidup.

kontemplatif

Aktif-is-me

Dunia mahasiswa adalah dunia penuh kedinamisan dan aktivitas yang padat. Kampus menyediakan banyak pilihan buat mahasiswa. Tak ubahnya gemerlap pasar rakyat bagi seorang anak kecil. Bagai gemerlap lampu disko yang berkilau amat menarik. Meski akhirnya, tak seluruh individu dalam populasi human campus menyambutnya dengan antusias –riang gembira.

Mereka yang memilih masuk unit kegiatan kemudian dituntut aktif berkontribusi. Kuliah tak sebatas ruang kelas dan lorong yang menghubungkannya. Kuliah juga diwarnai rapat, kegiatan organisasi, pelatihan, bahkan aksi. Kawannya yang tidak ikut organisasi menyebut si aktif berkontribusi: aktivis. Mahasiswa aktivis. Terdoktrin bahwa aktivis adalah mahasiswa yang ada di badan eksekutif, senat, atau badan pemerintahan mahasiswa lainnya. Terdoktrin bahwa semua pengurus lembaga pemerintahan mahasiswa adalah aktivis.

Padahal tak ada jaminan, emblem yang gagah melekat di jaket almamater berarti sang empunya aktif berkontribusi di lembaga tersebut. Pun salah bila menganggap seluruh non-pengurus badan eksekutif bukanlah aktivis. Karena aktif dapat dilakukan oleh siapapun, untu hal apapun: olahraga, seni, kelimiahan, bahkan ibadah. Yang penting, di manapun mahasiswa mengambil jalan, ia selalu total serta mau dan mampu menjadi aktif-kontributif. Tidak hanya numpang nama.


Mahasiswa yang rajin beribadah dapat disebut aktivis, sering mengikuti lomba karya tulis dan menang termasuk aktivis, giat mengharumkan nama kampus melalui olahraga pun tergolong aktivis. Jadi, makna aktivis tidak pelu dipersempit hanya untuk mahasiswa di senat dan lembaga pemerintahan mahasiswa sejenisnya. Karena aktif itu universal: dapat dilakukan untuk apapun. Selamat menghirup semangat aktif-is-me. Jadilah aktif dan menginspirasi orang lain untuk ikut aktif; itu baru aktivis sejati!