"Sebab menulis adalah peristiwa menyejarah"- @mizzanmrsydn

Senin, 23 Desember 2013

kontemplatif

Kritik

Lebih tajam dari pedang, lebih membekas daripada luka, lebih menusuk daripada duri. Kritik! Dapat membuat orang serasa kebakaran jenggot. Terbakar panas telinganya. Tak tidur semalaman. Apalagi kalau datangnya dari orang yang kita pandang.

Sering, kita tak menerimanya. Bukan membiarkannya masuk telinga kanan lantas keluar telinga kiri. Melainkan sama sekali tak menerimanya. Kembali mengkritik sang pengkritik. Gelap mata hingga dapat main tangan.
http://leadershipfreak.wordpress.com/2012/07/09/giving-criticism-like-a-pro/

Tapi mungkinkah, hidup tanpa kritik? Adakah sebuah dunia tanpa kritik?
Mustahil, dan jangan sampai terjadi. Bukan karena selalu ada manusia yang tidak suka dan mencari-cari kesalahan orang lain. Melainkan nanti dunia akan menjadi tempat yang stagnan dan tak sebaik ini. Orang-orang akan tidak mengetahui kesalahannya. Pemerintah menjadi terlalu yakin keberhasilannya. Seniman menjadi terlalu puas akan karyanya.

Memang ada kritik dekstruktif. Temannya: kritik konstruktif. Perbedaannya memang tak jauh. Bahkan kritik konstruktif sekalipun dapat diinterpretasi jadi kritik dekstruktif. Amat bergantung pada sang objek kritikan; mau menerimanya sebagai masukan atau celaan.

Kritik bagaikan bahan masakan. Kitalah koki yang menentukan bahan makanan mana yang kita buang dan ambil untuk dijadikan makanan lezat yang baik bagi jiwa kita. Jadi, berterimakasihlah pada para pengkritik hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar