Krisis
Peran Pemuda
Oleh
MUHAMMAD IZZAN[1]
Lain
pemuda dahulu, lain juga pemuda sekarang. Di zaman pra-kemerdekaan, pemudanya
berjuang keras bagaimana melepaskan diri dari cengkraman penjajah. Hingga pada
tanggal 28 Oktober 1928 mereka memproklamirkan sumpah pemuda sebagai
manifestasi persatuan pemuda-pemuda Indonesia.
Peran
pemuda juga sangat besar dalam proses kemerdekaan. Dengan heroik orang muda menculik
Soekarno dan Hatta agar terlepas dari pengaruh Jepang. Mereka teguh memegang
idealisme mereka agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan meski bertentangan
dengan golongan tua yang menunda kemerdekaan. Indonesia memerdekakan dirinya
secara independen tanpa pemberian dari Jepang. Tanpa keberanian mereka, niscaya
para founding father negeri ini tak
akan memprakarsai kemerdekaan Indonesia secepat itu.
Selanjutnya
peran pemuda mengawal berlangsungnya pemerintahan. Generasi yang dikenal dengan angkatan 66 membuat Soekarno dengan
Demokrasi Terpimpinnya lengser keprabon.
Soe Hoek Gie dan teman-temannya menjadi lokomotif utama yang peduli terhadap
kezaliman penguasa terhadap rakyatnya.
Pada
tahun-tahun berikutnya peran pemuda semakin dinamis. Generasi 1974 melawan
kapitalisme, yang begitu massif, dan mengatasnamakan kebebasan akademik. Menggagas
gerakan yang dikenal dengan Malari (Malapetaka 15 Januari) yang disertai
pembakaran aset orang Jepang di Indonesia.
Empat
tahun berselang, angkatan 1978 memprotes kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus
(NKK) yang membelenggu idealisme politik mahasiswa. Angkatan 1980 membawa isu
korupsi, kolusi, dan nepotisme yang santer di lingkaran Soeharto. Meruntuhkan
hegemoni Soeharto beserta kroco-kroconya selama puluhan tahun.
Degradasi peran pemuda
“Beri
Aku sepuluh pemuda, maka Aku akan mengguncang dunia.” Nyatanya pemuda Indonesia
dewasa ini bisa dikatakan tidak relevan lagi dengan pernyataan Bung Karno saat
itu. Negeri ini, pemudanya telah begitu larut dalam buaian hedonisme dan
konsumerisme yang begitu akut.
Seolah
mengulang sejarah tentang perjuangan pemuda sebelum kemerdekaan.
Neokolonialisme dengan beragam bentuknya telah mampu menghanyutkan pemuda yang
didaulat sebagai agen perubahan. Jangankan untuk memikirkan masalah bangsa dan
negara. Mereka malah asyik dengan kebutuhan-kebutuhan baru yang diciptakan kaum
kapitalisme.
Terjunnya
pemuda di ranah politik tidak berbeda dengan seniornya yang lebih tua.
Keberadaan mereka hanya sebagai pemanis. Di samping fakta: tingkat daya saing
yang rendah. Mereka masih berada di bawah bayang-bayang seniornya di partai.
Tak ada gebrakan-gebrakan khas pemuda untuk memperjuangkan hak-hak rakyat
layaknya pemuda sebelumnya.
Dampaknya,
peran pemuda di era kontemporer semakin mengempis di tengah menggembungnya
jumlah pemuda dalam demografi Indonesia. Rakyat tidak lagi mempunyai media yang
sejalan dengan kebutuhan mereka. Elit politik bebas sewenang-wenang seiring
kematian peran pemuda.
Degradasi
pemuda berarti juga degradasi peradaban suatu bangsa. Jika tak ada perubahan
bagi jiwa setiap orang muda, mau seperti apa bangsa kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar