"Sebab menulis adalah peristiwa menyejarah"- @mizzanmrsydn

Rabu, 09 November 2011


Krisis Peran Pemuda
Oleh MUHAMMAD IZZAN[1]
Lain pemuda dahulu, lain juga pemuda sekarang. Di zaman pra-kemerdekaan, pemudanya berjuang keras bagaimana melepaskan diri dari cengkraman penjajah. Hingga pada tanggal 28 Oktober 1928 mereka memproklamirkan sumpah pemuda sebagai manifestasi persatuan pemuda-pemuda Indonesia.
Peran pemuda juga sangat besar dalam proses kemerdekaan. Dengan heroik orang muda menculik Soekarno dan Hatta agar terlepas dari pengaruh Jepang. Mereka teguh memegang idealisme mereka agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan meski bertentangan dengan golongan tua yang menunda kemerdekaan. Indonesia memerdekakan dirinya secara independen tanpa pemberian dari Jepang. Tanpa keberanian mereka, niscaya para founding father negeri ini tak akan memprakarsai kemerdekaan Indonesia secepat itu.
Selanjutnya peran pemuda mengawal berlangsungnya pemerintahan. Generasi yang dikenal  dengan angkatan 66 membuat Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya lengser keprabon. Soe Hoek Gie dan teman-temannya menjadi lokomotif utama yang peduli terhadap kezaliman penguasa terhadap rakyatnya.
Pada tahun-tahun berikutnya peran pemuda semakin dinamis. Generasi 1974 melawan kapitalisme, yang begitu massif, dan mengatasnamakan kebebasan akademik. Menggagas gerakan yang dikenal dengan Malari (Malapetaka 15 Januari) yang disertai pembakaran aset orang Jepang di Indonesia.
Empat tahun berselang, angkatan 1978 memprotes kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang membelenggu idealisme politik mahasiswa. Angkatan 1980 membawa isu korupsi, kolusi, dan nepotisme yang santer di lingkaran Soeharto. Meruntuhkan hegemoni Soeharto beserta kroco-kroconya selama puluhan tahun.
Degradasi peran pemuda
“Beri Aku sepuluh pemuda, maka Aku akan mengguncang dunia.” Nyatanya pemuda Indonesia dewasa ini bisa dikatakan tidak relevan lagi dengan pernyataan Bung Karno saat itu. Negeri ini, pemudanya telah begitu larut dalam buaian hedonisme dan konsumerisme yang begitu akut.
Seolah mengulang sejarah tentang perjuangan pemuda sebelum kemerdekaan. Neokolonialisme dengan beragam bentuknya telah mampu menghanyutkan pemuda yang didaulat sebagai agen perubahan. Jangankan untuk memikirkan masalah bangsa dan negara. Mereka malah asyik dengan kebutuhan-kebutuhan baru yang diciptakan kaum kapitalisme.
Terjunnya pemuda di ranah politik tidak berbeda dengan seniornya yang lebih tua. Keberadaan mereka hanya sebagai pemanis. Di samping fakta: tingkat daya saing yang rendah. Mereka masih berada di bawah bayang-bayang seniornya di partai. Tak ada gebrakan-gebrakan khas pemuda untuk memperjuangkan hak-hak rakyat layaknya pemuda sebelumnya.
Dampaknya, peran pemuda di era kontemporer semakin mengempis di tengah menggembungnya jumlah pemuda dalam demografi Indonesia. Rakyat tidak lagi mempunyai media yang sejalan dengan kebutuhan mereka. Elit politik bebas sewenang-wenang seiring kematian peran pemuda.
Degradasi pemuda berarti juga degradasi peradaban suatu bangsa. Jika tak ada perubahan bagi jiwa setiap orang muda, mau seperti apa bangsa kita?


[1] Penggiat antikapitalisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar