"Sebab menulis adalah peristiwa menyejarah"- @mizzanmrsydn

Rabu, 13 Juni 2012

Kajian


Memaknai Cyberculture dan Kebudayaan Pascaruang

Oleh: Muhammad Izzan Mursyidan


                Dua orang mahasiswa duduk berdampingan di kantin sembari menunggu pesanan makanan masing-masing. Mereka telah bersahabat bertahun-tahun lamanya. Lima menit berlalu sembari menunggu makanan, tak ada sepatah kata pun mereka ucapkan, bahkan melirik pun tidak. Bukan karena keduanya sedang mempunyai masalah. Terbukti, mereka justru tersenyum atau tertawa seskali. Sayangnya, bukan terhadap satu sama lain, namun kepada gadget yang mereka asyik masyuk menggunakannya.
                Gambaran di atas memang tidak benar-benar penulis alami. Namun situasi serupa tentunya sering terjadi dalam ruang-ruang sosial di era kontemporer. Atau mungkin anda sendiri memiliki empiris tenggelam dalam aktifitas artifisial dalam gadget? Nyatanya, kita telah menempatkan gadget sebagai kebutuhan primer dalam aktifitas kehidupan kita. Diakui atau tidak, gadget dengan jejaring sosialnya-facebook, twitter, blackberry messenger, whatsApp-telah mengintervensi aktifitas sosial kita di dunia nyata.
                Media sosial yang marak digandrungi sekarang ini memang tidak bisa disalahkan. Hal itu merupakan hasil dari penalaran manusia yang sselalu ingin maju. Namun tujuan penciptaan teknologi yang sesungguhya untuk membantu kegiatan manusia telah bertransformasi menjadi sebuah kebutuhan utama yang menggantikan kegiatan manusia di ruang fisik. Hingga akhirnya dunia fisik disubstitusi oleh dunia maya: cyberspace.

Penyebaran wacana dan multipersonalitas dalam cyberspace

Istilah cyberspace pertama kali diperkenalkan Wiliam Gibson dalam novelnya (Neuromancer, 1984). Gibson ,penulis novel science-fiction, menggambarkan realitas maya yang dapat menggantikan realitas nyata. Cyberspace menjadi seting utama novel-novel Gibson selanjutnya: Count Zero (1986), Monalisa Overdrive (1988), dan Virtual Light (1993).
Apabila dunia nyata tercipta dari atom, cyberspace tercipta dari satuan bit (digit biner)  yang membentuk lautan informasi. Bit inilah satuan terkecil DNA informasi yang membentuk aktivitas baru di ruang virtual. Bit, disimbolkan sebagai 1 atau 0 ( menunjuk dua keadaan: on-off, hidup atau mati) , menjadi komputasi dasar dunia digital. Cirinya adalah tidak mempunyai berat dan dapat bergerak dalam kecepatan cahaya.
                Sebuah keniscayaan bahwa cyberspace dapat menimbulkan penyebaran wacana dan multi-personalitas. Kini siapapun dapat menulis informasi, mengabarkan berita, mengkritik orang lain melalui dunia maya. Akibatnya kuasa informasi tidak lagi terpusat.  Siapapun dapat melakukannya asalkan mempunyai akses terhadap informasi. Inilah yang dikatakan Michel Foucault tentang tiadanya kekuasaan informasi yang terpusat di dunia era posmoderen.
                Keniscayaan yang kedua adalah multipersonalitas. Di alam virtual, identitas ditampakkan melalui citra diri seperti avatar dan gambar lainnya yang dapat dipilih sesuka hati. Potret diri yang dinilai kurang akan dihilangkan, sedangkan potret diri yang menarik akan kita tampilkan. Bahkan dapat kita ubah dengan bantuan peranti lunak seperti photoshop.
                Dunia virtual cenderung bebas dan tidak ada batas dalam menampilkan image. Bukan hal yang sulit membuat representasi diri di alam virtual. Hanya memerlukan akses terhadap ctberspace dan mengisi data sesuai keinginan kita sebagai persyaratan. Seorang perempuan dapat berpura-pura menjadi laki-laki di alam virtual. Seseorang yang sudah punya pacar dapat mengaku jomblo pada kenalannya di dunia maya. Bahkan kita tidak akan dapat membedakan apabila seekor monyet mengkonstruksi citra sebagai manusia di alam virtual. Dalam cyberspace, self menjadi self-fashion atau self-create.
                Kebebasan yang didapat dalam cyberspace juga mengakibatkan efek negatif. Seseorang dapat meninggalkan norma-norma dan nilai-nilai yang didapatnya di realitas sosial. Anak kecil dengan leluasa melihat adegan kekerasan yang belum tentu dapat dikritisi oleh kognisinya. Seseorang bebas mendapatkan bit pornografi tanpa persyaratan usia. Bahkan penipuan dalam e-commerce atau online shopping juga ditunjang cyberspace.

Cyberculture

                Masyarakat makin sering beraktifitas di cyberspace karena ditunjang dengan kemudahan memasukinya. Makin banyak smartpone yang menawarkan kemudahan akses terhadap dunia virtual, makin bnyak ruang publik yang terfasilitasi wi-fi, dan menjamurnya bisnis warnet adalah beberapa contoh kemudahan tersebut.
                Kemudahan ini membuat kita semakin intens berada dalam cyberspace ke timbang ruang fisik. Orang tidak perlu ke bank untuk mentransfer uang karena ada fasillitas e-banking. Orang jarang bertatap muka langsung sejak ada jejaring sosial. Orang bisa mendapatkan pakaian dan barang lainnya tanpa perlu jauh-jauh ke mall. Bahkan tidak perlu keluar kamar untuk mengkritik suatu rezim. Cukup di depan komputer.
                Banyak aktivitas dalam cyberspace yang dapat menggantikan usaha kita di ruang fisik. Mulai dari hiburan, politik, fashion, sosial, segala kebutuhan terpenuhi di alam virtual. Ini menimbulkan sebuah keadaan yang dinamakan ‘kesadaran pascaruang’. Yakni kondisi di mana manusia tidak lagi berinteraksi di wilayah yang dibatasi oleh ruang, melainkan berpetualang jauh di ruang tanpa ruang: cyberspace.
                ‘Kesadaran pascaruang’ ini muncul ketika manusia ter-upload ke dalam cyberspace dan menjadi bagian dari ekologi elektronik. Efek signifikan yang diakibatkan ‘kesadaran pascaruang’ adalah hilangnya kesadaran ruang dan kesadaran sosial. Manusia memosisikan diri sebagai bagian dari dunia cyber dan lebih mengakui ekistensi virtualnya ketimbang eksistensi fisiknya. Kesadaran sosial juga akan hilang sebab manusia, melalui kesadarannya, akan tersedot menjadi salah satu entitas dalam ekologi elektronik.

Kebudayaan pascaruang: substitusi kebudayaan ruang

                Kesadaran pascaruang ini akan membawa manusia menuju tranformasi kebudayaan pascaruang. Orang rela berjam-jam mencari teman di facebook dan mendapatkan kepuasan ketika temannya bertambah, namun di saat yang sama tidak mencari teman dalam realitas sosial secara fisik. Bahkan kesadaran ruang sudah tercerabut ketika seseorang memiliki ratusan teman di jejaring sosial yang tidak dikenalnya.
                Perbedaan mendasar antara cyberculture dengan kebudayaan pascaruang adalah kesadaran sesorang saat berada dalam cyberspace. Pada fase cyberculture, orang masih memiliki kesadaran untuk membedakan alam natural dengan alam virtual. Sehingga apa yang ia lakukan dalam alam virtual hanya selama aktivitas itu menunjang kehidupannya dalam alam natural. Contohnya ketika seorang mahasiswa menggunakan  email untuk mengumpulkan tugas kuliah. Ia menggunakan fasilitas cyberspace karena kebutuhan kuliahnya yang dilakukan di ruang fisik.
                Kebudayaan pascaruang telah mutlak terjewantahkan ketika seseorang menekuni cyberspace tanpa memedulikan eksistensinya di ruang fisik. Kebudayaan pascaruang ini tergambarkan oleh seseorang yang menangisi kekalahannya dalam suatu game online, namun tidak merasa apa-apa ketika salah satu tetangganya meninggal. Atau merasakan kepedihan yang mendalam saat teman chat-nya yang baru dikenalnya di facebook tiba-tiba offline, namun bergeming  saat teman di realitas nyata marah meninggalkannya.
                Pada akhirnya, diskursus kebudayaan pascaruang ini akan kembali kepada individu masing-masing selaku entitas dalam kedua ruang: ruang natural dan ruang virtual. Bagaimana manusia menempatkan posisinya dalam realitas sosial yang tidak dapat dipisahkan dengan cyberspace pada era keterbukaan informasi. Jadi, di manakah posisi anda dalam konstelasi dua realita yang ada ?

Sumber:
Cultural Studies, teori dan praktik ( Chris Barker)

KUNCI No. 2, September 1999. Melalui http://kunci.or.id/esai/nws/02/cyberculture.htm (terakhir diakses Juni 2012)

CYBERCULTURE, TRANSFORMASI KEBUDAYAAN PASCARUANG, DAN BAYANG-BAYANG KEMATIAN SOSIAL Oleh Fahd Djibrai. Melalui  http://komahi.umy.ac.id/2010/12/cyberculture-dan-transformasi.html (terakhir diakses Juni 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar