"Sebab menulis adalah peristiwa menyejarah"- @mizzanmrsydn

Sabtu, 30 Agustus 2014

Sepotong Indonesia di Sarawak
Oleh: Muhammad Izzan Mursyidan 






“Indonesia bukan sekedar lokasi, namun Indonesia ada di hati.”
Kata-kata yang disampaikan Project Officer Volunteerism Teaching Indonesian Children (VTIC) 3th Ahmad Adib dalam sambutannya tersebut menjadi kalimat yang pantas untuk menggambarkan sepotong Indonesia yang kami jumpai di tengah rimbunan perkebunan kelapa sawit di Sarawak, Malaysia. Di sanalah terdapat murid-murid sekolah nonformal untuk anak-anak Indonesia. Meski banyak dari mereka belum pernah menjejakkan kaki di bumi pertiwi, namun merah putih dan garuda tetap mereka junjung. Meski mayoritas hanya melihat Indonesia dari televisi, namun rasa cinta mereka terhadap Indonesia tak perlu diragukan.
Oleh karena itu VTIC mengajar di Sarawak, Malaysia. Kami bertekad untuk ikut membantu meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak Indonesia di Malaysia meski dalam waktu yang singkat. Sebab mereka pun bagian dari Indonesia dan kami ingin menunjukkan bahwa mereka sangat pantas untuk bermimpi besar; bukan sekedar penombak kelapa sawit, tukang jaga kebun, atau driver seperti orang tua mereka; melainkan bermimpi untuk menjadi bagian dari kebangkitan bangsa Indonesia di masa depan. Kami juga ingin menunjukkan bahwa manusia Indonesia adalah manusia yang peduli terhadap sesamanya, meski harus melewati batas negara. Manusia yang memilih untuk  tidak mengutuk kegelapan, melainkan menyalakan lilin untuk menerangi masa depan agar lebih baik.
Saya sendiri ditempatkan di Community Learning Centre (CLC) Rajawali yang berada di pemukiman penduduk milik Perusahaan Sime Darby. Dengan buku apa adanya serta keterbatasan tempat (satu ruang untuk kelas 1-3 SD dan lainnya untuk kelas 4-6 SD), ada sekumpulan anak-anak Indonesia yang sedang mengenyam pendidikan dan merajut mimpi mereka. Segala keterbatasan tersebut tidak mereka rasakan sebagai hambatan sebab yang saya temui adalah murid-murid yang ceria dan penuh semangat. Murid-murid yang tiap pagi membersihkan sekolah mereka setengah hingga satu jam sebelum masuk kelas. Murid-murid yang berangkat jam 5 pagi karena jarak yang jauh antara sekolah dengan rumah mereka. Murid-murid yang  hormat dan patuh terhadap cikgu-cikgu  mereka.
Tentu kegiatan belajar mengajar (KBM) di tengah keterbatasan tersebut tidak akan berlangsung tanpa sosok yang penuh pengorbanan di balik itu semua. Merekalah pahlawan tanpa tanda jasa yang mengajarkan kami bahwa patriotisme bukanlah slogan belaka melainkan aksi nyata. Merekalah segelintir pendidik, yang dengan dedikasi, bersabar dan bertahan untuk mengajar anak-anak Indonesia memahami kata demi kata, angka per angka. Mereka: guru-guru sekolah nonformal yang kerap dipanggil cikgu oleh anak-anak Indonesia. Mungkin kontribusi mereka tak berarti di mata pemerintah Republik Indonesia, namun apa yang mereka lakukan, disadari atau tidak, merupakan salah satu upaya pelunasan janji cita-cita kemerdekaan yang hingga kini belum tuntas.
Sepotong Indonesia di Sarawak membuat kami bersyukur telah menikmati pendidikan serta menambah rasa cinta kami pada Indonesia. Semoga cinta dan cita mereka untuk Indonesia tetap terus menyala serta dibalas dengan perhatian perwakilan pemerintah (KBRI dan KJRI ) terhadap, setidaknya, aspek pendidikan mereka. Tak ada satu pihak pun yang berhak menutup akses pendidikan bagi mereka sebab mereka juga anak-anak Indonesia yang memiliki mimpi dan berhak berusaha mencapai mimpi tersebut melalui pendidikan yang layak. Kami, para cikgu VTIC, memiliki keyakinan dan do’a bahwa akan ada orang-orang hebat seperti gubernur, menteri, hingga presiden yang berasal dari sekolah nonformal anak-anak Indonesia di Sarawak suatu saat nanti. Berusahalah dan berjuanglah untuk menggapai impianmu murid-murid, sebab Indonesia menantikan kepulangan dan kontribusi kalian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar